Bisnis.com, JAKARTA - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mendorong pengunaan mata uang China, renminbi, untuk kegiatan investasi dan perdagangan.
Kepala BKPM, Thomas T. Lembong mengungkapkan Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan agar ketergantungan terhadap mata uang dolar AS harus dapat dikurangi.
Dalam hal ini, dia menuturkan Presiden berharap proyek Belt and Road Initiative (BRI) dapat dibiayai dengan mata uang renminbi.
"Ini tidak masuk akal bahwa perdagangan antara China dan Indonesia harus dibayar dengan dolar AS. Ini tidak masuk akal jika investasi China dan Indonesia harus dibayar dengan dolar AS," tegas Lembong dalam forum Belt and Road Forum yang diadakan Standard Chartered, Selasa (19/03/2019).
Melihat perkembangan investasi, perdagangan dan pariwisata, dia yakin upaya menciptakan hubungan ekonomi dengan penggunaan mata uang renminbi atau rupiah dapat berjalan dengan baik.
Lembong yakin 5%-10% nilai perdagangan antara kedua negara telah dibayar dengan mata uang rupiah atau renminbi.
Sebagai catatan, Bank Indonesia (BI) dan Bank Sentral Tiongkok (People’s Bank of China – PBC) memperbarui perjanjian swap bilateral dalam mata uang lokal (Bilateral Currency Swap Arrangement/BCSA).
BSCA adalah fasilitas pengunaan mata uang lokal dalam kegiatan perdagangan.
Perpanjangan sekaligus pertambahan nilai perjanjian tersebut ditandatangani oleh Gubernur BI, Perry Warjiyo, dan Gubernur PBC, Yi Gang, pada Jumat, 16 November 2018.
Dalam kesepakatan tersebut, BI dan PBC menyepakati pertambahan nilai BCSA dari 100 miliar renminbi offshore atau setara US$15 miliar menjadi 200 miliar renminbi offshore atau US$30 miliar. Perjanjian berlaku selama tiga tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan kesepakatan bersama.
Perjanjian penambahan nilai dari fasilitas tersebut merupakan komitmen China dan Indonesia untuk memperkuat BCSA.
Pembicaraan terkait penambahan nilai BCSA ini telah dibicarakan antara Presiden Joko Widodo dan Presiden Xin Jinping di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Antalya, Turki, pada 2015.