Bisnis.com, BANDUNG—Pemerintah Republik Indonesia segera mengirim surat resmi ke organisasi dagang dunia (WTO) juga tim khusus terkait kebijakan diskriminatif dari Uni Eropa atas minyak kelapa sawit mentah (CPO) Indonesia.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan rencana ini tengah dimatangkan usai penyampaian 10 sikap resmi pemerintah terkait sikap Uni Eropa atas CPO Indonesia oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution.
“Satu tim pemerintah [disiapkan] untuk kemudian kita akan mengadukan ke WTO,” katanya di Gedung Sate, Bandung, Selasa (19/3).
Menurutnya pembentukan tim ini merupakan proses sebelum sampai secara resmi mengajukan pengaduan ke WTO sekaligus menunggu sikap Uni Eropa lebih jauh atas diskriminasi CPO. “Kalau mereka melakukan hal itu, kita juga bisa melakukan hal yang sama,” paparnya.
Enggar juga memastikan rencana melakukan sengketa ke WTO akan menentukan apakah Indonesia akan melanjutkan penyelesaian perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). “Kita lihat, yang pasti kita sengketakan ini dulu,” ujarnya.
Pengajuan sengketa ke WTO juga dipastikan memakan waktu sangat lama. Pemerintah RI pertama harus mengajukan surat resmi, kemudian menyiapkan pengacara khusus dan dokumen-dokumen legal. “Setahun, bisa tahunan,” tuturnya.
Baca Juga
Meski memakan waktu panjang, Enggar menilai dampak dari hasil sengketa ini belum tentu besar bagi industri CPO Indonesia mengingat Uni Eropa belum mengimplementasikan rencana CPO tidak layak untuk bahan bakar “Iya [dampaknya besar] tapi kan mereka belum implemented. Itu keputusan Uni Eropa,” katanya.
Menurutnya diskiriminasi ini jelas diprotes keras pemerintah.
Enggar memastikan 10 sikap resmi yang sudah disampaikan Menko Perekonomian Darmin Nasution sudah jelas dan cukup mewakili suara pemerintah.
“Itu suara resmi pemerintah, sudah disampaikan dan kita akan memproses ke WTO,” ujarnya.
Di tempat yang sama Dirjen Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan mengatakan rencana sengketa ke WTO sudah sejak lama akan digulirkan.
Pihaknya kini tengah melakukan pendalaman terkait pasal mana saja dalam draft final Renewable Energy Directive II (RED II). “Belum official, tapi kita pelajari yang diskiriminatif pasal mana saja, lagi pendalaman,” tuturnya.
Jika pendalaman ini menemukan terjadinya diskriminasi maka jika pihak pengacara dan pakar hukum memastikan hal tersebut bisa disengketakan ke WTO maka pemerintah akan memprosesnya.
“Apakah draft itu official jadi ketentuan x atau tidak. Kan Itu [soal diskiriminasi CPO] masih delegated act,” paparnya.
Pihaknya menilai rencana penghentian CPO pada 2030 dirasakan Indonesia terkesan diskriminatif. Namun penting bagi Indonesia bersikap setelah tuntas mempelajari pasal-pasal yang ada.
“Aturan mainnya seperti ap. Bahasanya [draf] kan sangat teknis sekali yang saya nggak ngerti, tapi kita harus tahu apa yang akan kita gugat, jangan asal bunyi,” katanya.
Menurutnya rencana gugatan sendiri belum ditentukan leading sectornya. Sementara saat ini untuk tahap diplomasi masih dipimpin oleh Kementerian Luar Negeri.
“Nggak ada tenggat waktu, yang penting bagi kita itu harus benar aturan, jangan sampai sudah berbiaya tinggi, tahu-tahu gagal [di sidang WTO],” ujarnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyatakan bahwa selain tengah mempersiapkan diri untuk mengajukan gugatan melalui World Trade Organization (WTO), pemerintah juga akan mengadakan lawatan ke Uni Eropa (UE) pada 7 April 2019.
Dalam kesempatan tersebut, pemerintah akan menyampaikan posisi Indonesia kepada Parlemen UE atas keputusan Komisi UE terkait diskriminasi terhadap komoditas itu.
"Pemerintah menyampaikan keberatannya atas keputusan Komisi Eropa untuk mengadopsi Delegated Regulation yang mengklasifikasikan minyak sawit sebagai komoditas yang tidak berkelanjutan dan berisiko tinggi," tuturnya di sela-sela "Konferensi Pers Tentang European Union’s Delegated Regulation" di Jakarta, Senin (18/3/2019).