Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Harapkan Produksi Rumput Laut Naik Dua Kali Lipat

Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli) berharap produksi rumput laut Indonesia bisa meningkat hingga dua kali lipat dari kondisi saat ini.
Petani rumput laut memeriksa tanaman rumput laut di Pantai Ujungnge, Bone, Sulawesi Selatan, Selasa (31/10)./ANTARA-Yusran Uccang
Petani rumput laut memeriksa tanaman rumput laut di Pantai Ujungnge, Bone, Sulawesi Selatan, Selasa (31/10)./ANTARA-Yusran Uccang

Bisnis.com, JAKARTA- Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli) berharap produksi rumput laut Indonesia bisa meningkat hingga dua kali lipat dari kondisi saat ini.

Sekretaris Jenderal Astruli Adrian Setiadi menyebutkan saat ini produksi rumput laut nasional sudah sangat kurang untuk mencukupi kebutuhan industri.

“Berapapun target dari pemerintah harapan kami adalah double dari [produksi] 2018 karena barang sangat kurang,” ujar Adrian kepada Bisnis, Selasa (12/3/2019).

Seperti diketahui, Kementerian Kelautan dan Perikanan menargetkan produksi rumput laut bisa mencapai 11,1 juta ton pada 2018 dan 11,8 juta ton pada 2019. Adapun realisasi produksi rumput laut di mencapai 7,567 per kuartal III/2018.

Tidak sebandingnya produksi rumput laut dengan kebutuhan industri menurutnya tercermin dari harga bahan baku (eucheuma cotonii) yang melompat tinggi ke lebel Rp26.000 per kilogram dari posisi normalnya sekitar Rp17.000 per kilogram.

Beroperasinya salah satu pabrik rumput laut penanaman modal asing yakni Biota Laut Ganggang ditengarai menjadi penyebabnya. Pasalnya, dari 204.078,38 ton kebutuhan rumput laut kering industri, sekitar 50.000 ton diserap oleh BLG.

Adapun dari sisi hulu, pertumbuhan produksi rumput laut dinilai tidak secepat pertumbuhan kebutuhan bahan baku industri.

Dalam kesempatan berbeda, Sasmoyo yang merupakan Direktur Utama Indonusa Algaemas Prima, salah satu industri rumput laut dalam negeri juga menyampaikan hal yang sama.

Hadirnya perusahaan penanaman modal asing yang bergerak di industri awal rumput laut dinilai menjadi salah satu penyebab peningkatan harga bahan baku rumput laut di dalam negeri.

Terkait hal ini, dia menyebutkan pihaknya tidak anti terhadap investasi asing yang meramaikan industri rumput laut dalam negeru. Namun, penanaman modal asing seharusnya tidak menyentuh segmen yang selama ini dikerjakan oleh industri kecil menengah dalam negeri yang mengubah rumput laut menjadi alkali treated cottoni (ATC) chips.

“Mestinya itu hanya boleh dilakukan oleh industri menengah kecil tetapi justeru pabrik [investasi] China yang dua itu memproduksi itu sehingga mematikan banyak pangsa pasar industri menengah kecil,” ujarnya kepada Bisnis.

Menurut Sasmoyo, industri rumput laut seperti BLG yang bermodal kuat seharusnya bisa mengisi segmen berikutnya, yakni yang mengubah bahan hasil produksi industri menengah kecil berupa chips menjadi produk akhir.

Dengan demikian, persaingan untuk mendapatkan bahan baku bisa menjadi lebih longgar.

Di sisi lain, dia juga mengkritisi informasi terkait produksi rumput laut dalam negeri yang dia nilai belum sesuai kenyataan.

Menurutnya, selain karena masuknya industri modal asing di atas, sejumlah kendala seperti cuaca dan sebagainya juga menyebabkan produksi rumput laut tidak maksimal.

Di sisi lain, mahalnya harga bahan baku rumput laut dalam negeri menurut Sasmoyo saat ini tidak diikuti dengan kenaikan harga beli oleh pembeli dari luar negeri.

“Mereka juga kaget kenapa kok rumput laut Indonesia bisa naik tiba-tiba tidak terkendalai begitu sehingga mereka bisa dikatakan moratorium membeli atau mengimpor rumput laut dari Indonesia,” ujarnya.

Moratorium impor oleh negara pembeli ini, menurut Sasmoyo, bisa berdampak negatif terhadap produk rumput laut Indonesia jika berlangsung dalam waktu lama. Pasalnya, para pembeli akan memutar otak dan mencari solusi lain yang bisa menggantian rumput laut.

Dia menambahkan, pada dasaranya, rumput laut berfungsi sebagai pengental atau perekat dan saat ini ada banyak komoditas lain yang bisa dijadikan alternative seoeri singkong dan lain-lain.

“Itu yang sebenarnya sangat mengkhawatirkan untuk jangka panjang. Sehingga pembeli-pembeli luar negeri ini, kalau sampai dia mencari solusi bahan pengganti, substitusi dan mereka merasa nyaman,  maka tamatlah riwayat rumput laut,” ujarnya.

Sebagai solusi, di samping peningkatan produksi rumput laut dia meminta agar pemerintah bisa menelurkan regulasi yang mengatur aktivitas dan kiprah industri besar bermodalkan investasi asing di sektor rumput laut.

Sebagai contoh regulasi yang mengatur agar industri asing bisa menyerap dan memakai bahan baku berbentuk chip yang diproduksi industri lokal modal dalam negeri.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper