Pemerintah mulai gencar mengonversi lahan kopi robusta yang berada di atas ketinggian 1.000 mdpl menjadi arabika yang memiliki harga lebih kompetitif. Namun, edukasi mengenai proses budi daya yang berbeda antara kedua varietas tersebut menjadi pekerjaan rumah yang tak bisa diabaikan.
Rencana di atas tercantum peta jalan (roadmap) jangka panjang untuk meningkatkan produksi kopi arabika sekaligus memperbaiki pendapatan petani dan pemasukan yang diterima pemerintah.
Saat ini, harga kopi robusta yakni US$1.650/ton sedangkan kopi arabika sekitar US$6.000/ton, atau terdapat perbedaan senilai US$4.350/ton.
Dalam jangka pendek saja harga kopi arabika diperkirakan terus merangkak US$2,9/kg menuju US$2,96/kg pada 2025. Namun, tidak demikian dengan kopi robusta yang stagnan di harga US$2/kg pada 2025.
Tidak hanya itu, kopi arabika yang lekat dengan kopi spesialti pun berkembang pesat dengan peningkatan jumlah penjualan sebesar 158,8% sejak 2011 dan pertumbuhan kedai sebanyak 686 (107,1%) kedai sampai dengan 2018. Hal tersebut mengindikasikan adanya peluang bisnis atau usaha kedai kopi spesialti.
Rata–rata pertumbuhan konsumsi spesialti yang lebih pesat menunjukan peminat kopi spesialti semakin banyak. Dari total pasar kopi senilai Rp20,6 triliun, 17,4% atau setara dengan Rp3,6 triliun adalah pasar kopi spesialti.
Tergiur dengan marjin harga dan potensi pasar tersebut, Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang mengatakan pihaknya sudah mulai mencari lahan tanam yang cocok untuk varietas arabika ini.
Meskipun demikian, dia menegaskan tidak semua lahan tanam kopi robusta akan serta merta dikonversi. Menurutnya, varietas arabika bisa dikembangkan di lahan dengan ketinggian lebih dari 1.000 mdpl.
"Disesuaikan tempatnya, jangan sampai wilayah yang cocok untuk arabika, ditanami robusta. Daerah dengan ketinggian [lebih dari 1.000 mdpl] itu terbatas sehingga harus dimaskimalkan untuk arabika karena harga bagus," katanya, belum lama ini.
Bambang mengatakan pada tahun lalu sudah ada 18.000 hektare lahan tanam yang sudah diremajakan dan dialihfungsikan dari robusta ke arabika. Selain itu, lanjut Bambang, juga sudah ada penambahan areal kebun kopi arabika seluas 1.000 hektare di sekitar Sungai Citarum, Jawa Barat, dalam rangkaian acara penanaman sejuta pohon belum lama ini.
Sementara itu, untuk tahun ini, baik peremajaan atau pengalihan komoditas ditargetkan angkanya tidak jauh berbeda dengan tahun lalu. Adapun, untuk produksi secara keseluruhan diperkirakan masih berkisar di angka 700.000 ton.
Saat ini luas tanam komoditas kopi adalah 1,2 juta hektare, 29% diantaranya adalah arabika, 1% adalah liberika, dan 70% sisanya robusta. Varietas arabika mayoritas dibudidayakan di berbagai daerah di Pulau Sumatra.
TANTANGAN
Kendati peluang terbuka lebar untuk kopi arabika, nyatanya pelaku usaha tidak menanggapi upaya konversi lahan ini dengan bersemangat.
Wakil Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Moelyono Soesilo mengatakan kepada Bisnis bahwa perlu usaha lebih untuk membudidayakan kopi arabika.
"Pada prinsipnya, hal tersebut [rencana konversi] sangat bagus karena akan meningkatkan pendapatan dari petani, tapi tetap harus di adakan pendampingan dan edukasi, karena pola tanam dan proses pascapanen kopi arabika dan kopi robusta berbeda," katanya.
Menurutnya, ada dua poin yang perlu menjadi pertimbangan program alih fungsi ini. Pertama, kopi arabika lebih rentan terhadap iklim sehingga kondisi perubahan iklim harus masuk perhitungan. Kedua sampai dengan saat ini permintaan domestik untuk kopi robusta masih cukup tinggi.
"Hal ini akan menyebabkan juga perbedaan harga antara kopi arabika dan kopi robusta menyempit. [Saat ini porsi pasarnya] 60% kopi robusta, 40% kopi arabika," katanya.
Moelyono pun memperkirakan permintaan kopi robusta masih berpotensi tumbuh terutama dari negara di Asia. Misalnya China, Taiwan, Korea, Fillipina, dan India.
Pendapat serupa pun dikemukakan oleh Hutama Sugandhi sebagai Ketua Umum Gabungan Eksportir Kopi Indonesia (Gaeki). Menurutnya perlu spektrum yang lebih luas dari sekedar harga yang sedang bagus dalam menentukan kebijakan.
"Arabika itu rentan penyakit. Kita berada di daerah vulkano, maka kualitas lebih baik dan suplai lebih rendah dari demand, sehingga harga [arabika] tinggi. Namun, arabika Kolombia dan Brasil harganya lebih rendah dari kita karena suplai sama dengan demand. Kebijakan harus memikirkan long term karena kopi baru produksi setelah empat tahun tanam," katanya.
Dia menambahkan, kendati arabika memiliki kecenderungan diekspor, konsumsi dalam negeri terbilang rendah, terbatas hanya di cafe-cafe saja. Di sisi lain, menurutnya, robusta tetap berpeluang diekspor karena memiliki pasar yang universal. Konsumsi dalam negerinya pun mencapai 350.000 ton per tahun.
Terakhir yang barangkali bisa menjadi bahan pertimbangan adalah biaya produksi. Berdasarkan kajian Independent Research & Advisory Indonesia, biaya produksi kopi arabika di Indonesia mencapai US$2.933/ton, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara penghasil lain seperti Kolombia dan Brazil yang reratanya US$1.666/ton. Adapun, biaya produksi kopi robusta hanya US$1.079/ton.