Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos dan Logistik Indonesia (Asperindo) menyatakan bahwa dampak dari kenaikan tarif ongkos kirim sebagai imbas dari melonjaknya tarif Surat Muatan Udara (SMU) atau kargo udara telah menyebabkan penurunan pasar hingga 40% dari biasanya.
Hal tersebut, kata Wakil Ketua Asperindo Budi Paryanta, terjadi hanya dalam rempo satu bulan ini pasca kenaikan ongkos kirim yang diberlakukan Asperindo kepada pelanggannya sekitar 15%-25% dari sebelumnya, sebagai konsekuensi atas melejitnya tarif kargo udara.
"Baru sebulan ini saja, shipment dari pelanggan kami turun 40%. Iya, sebagian besar anggota kami sudah kehilangan pasarnya gara-gara ini [melejitnya tarif SMU]," ujarnya kepada Bisnis, Senin (18/2/2019).
Budi menerangkan bahwa sebagai respon atas melejitnya tarif kargo udara, asosiasi akhirnya terpaksa merespon hal tersebut dengan menaikkan ongkos kirim yang dibebankan kepada pelanggan mereka sebesar 15-25%.
Asperindo mengaku sudah berusaha bertahan semaksimal mungkin untuk survive dengan tidak menaikkan ongkos kirim selama hampir enam bulan terakhir pasca kenaikan tarif kargo udara pertama kali pada Juni tahun lalu.
Namun demikian, lanjutnya, para pelaku usaha akhirnya mau tidak mau, mulai pertengahan Januari 2019 menaikkan ongkos kirimnya dan dibebankan kepada pelanggan hingga menimbulkan dampak berkurangnya shipment dari pelanggan mereka hingga 40%.
"Kan imbas kenaikan tarif SMU, kami terpaksa menaikkan ongkos kirim juga. Nah, karena ongkos kirim naik, pengguna jasa juga merasakan berat. Nah akhirnya mereka mengurangi produksi juga karena kenaikan ongkos kirim yang tinggi kan mereka akhirnya tidak bisa kirim banyak," terangnya.
Budi mengatakan bahwa kenaikan tarif SMU telah berlangsung mulai Juni 2018, dan terjadi berkali-kali. Dia mencontohkan untuk maskapai Garuda Indonesia, telah mulai naik dari Juni sekali, Oktober dua kali, November sekali, Desember sekali, dan Januari 2019 dua kali.
"Kami baru mulai menaikkan ongkos kirim pada pertengahan Januari 2019. Jadi pada pleno 14 Januari 2019, semua anggota sepakat menaikkan tarif dikisaran 15-25% yang berlaku efektif per 15 Januari 2019," ujarnya.
Oleh sebab itu, pihaknya sangat berharap akan adanya solusi dukungan dari pemerintah atas melonjak tarif SMU tersebut.
Pasalnya, Asperindo juga merasa bahwa pihaknya merupakan bagian dari kontributor perekonomian di Tanah Air.
"Karena kami bukan hanya sekedar mengakut barang dari end to end, tapi turut memperlancar arus bisnis juga. Contohnya kan kalau mulai banyak pelaku UKM yang tidak bisa jualan produknya lantaran mahalnya ongkos kirim kan berpengaruh juga akhirnya ke ekonomi," terangnya.
Sebelumnya diketahui bahwa, pada awal bulan lalu tersebar kabar tentang adanya wacana untuk melakukan boikot penggunaan kargo udara oleh Asperindo lantaran adanya kenaikan tarif kargo udara dari maskapai penerbangan yang dinilai sangat memberatkan pelaku usaha jasa logistik tersebut.
Asperindo mengeluhkan tarif kargo yang naik sampai 6 kali sejak Juli 2018 dan bahkan untuk sejumlah rute penerbangan tertentu kenaikannya mencapai kisaran 300%.
Pihaknya bahkan sampai ingin bertemu Presiden untuk mengadvokasikan keberatan tersebut. Namun demikian, usai ada pertemuan tertutup yang difasilitasi Kemenhub pada 8 Februari 2019, tersebut keduanya sepakat untuk "berdamai" atas kekisruhan tersebut.
"Pemerintah memfasilitasi supaya ini jangan sampai ada kegaduhan, dan kita sudah sepakat, tidak ada masalah," ujar Sekjen Asperindo, Amir Syarifuddin belum lama ini.
Ketika itu, usai pertemuan, VP Corporate Secretary Garuda Indonesia, Ikhsan Rosan menuturkan latar belakang kenaikan tarif kargo tersebut. Katanya, harga sebelumnya dinilai terlalu rendah, dan sudah tidak bisa menutupi biaya yang ada.
Menurutnya, antara lain adanya kenaikan harga BBM jenis avtur Januari-Desember 2018 sebesar 39% dan pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) secara tahunan mendekati 13%.
Sementara itu, pembayaran sewa pesawat dan pemeliharan termasuk suku cadang menggunakan dolas AS. Selain itu, maskapai dihadapkan pada kenaikan biaya kebandarudaraan dan navigasi antara 10%--13%.