Bisnis.com, JAKARTA – Pasar ritel atau pusat perbelanjaan makin melambat setiap tahunnya, kini jumlah pasok yang terus menyusut membuat permintaan tidak bisa terserap. Salah satu penyebabnya adalah moratorium dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang masih berlaku.
Selanjutnya, untuk dinamika pasok dan permintaan, kini masih ada moratorium di Jakarta, sehingga pertambahan pasoknya pasti tidak akan terlalu banyak, okupansinya di lokasi yang ada sudah tinggi, limited option, jadi bukan melulu permintaannya yang menurun, tapi kareana memang suplai yang ada terbatas, tidak ada tempat yang bisa ditempati.
Head of Research JLL Indonesia James Taylor mengatakan, dengan masih adanya moratorium di Jakarta, pertambahan pasoknya untuk di Jakarta jadi tidak akan terlalu banyak.
“Okupansinya di lokasi yang ada sudah tinggi, limited option, jadi bukan melulu permintaannya yang menurun, tapi kareana memang suplai yang ada terbatas, tidak ada tempat baru yang bisa ditempati,” ungkapnya belum lama ini.
Menurut catatan JLL, sepanjang kuartal IV/2018 tidak ada pertambahan pasok ritel baru. Adapun tingkat okupansinya mencapai 88,9%. Ke depan, hingga 2021 diperkirakan akan ada tambahan pasok hingga 223.000 meter persegi dengan adanya tambahan proyek dari sejumlah pengembang yang mulai muncul tahun ini.
Menurut James, untuk bisa bertahan, bangunan mal tidak boleh lagi hanya mengandalkan tempat berbelanja juga, tapi harus memberikan pengalaman baru yang akan membantu menarik lebih banyak pengunjung.
Baca Juga
“Landlord sekarang kalau mau mengembangkan lahannya menjadi pusat perbelanjaan bisa memfokuskan ke kebutuhan milenial. Di Indonesia sekarang penduduknya sudah lebih dari 250 juta orang, dan kebanyakan dari mereka adalah milenial,” imbuh James.
James memaparkan, milenial saat ini mereka mencari tempat yang penuh inovasi, teknologi. Terlebih dengan kemunculan platform dagang-el.
“Di mal sekarang tidak boleh hanya menyediakan tempat belanja, makan, tapi juga buka untuk digunakan sebagai lokasi co-working space, karena milenial sekarang bisa bekerja di mana saja dan perlu tempat itu,” imbuhnya.
Selanjutnya, menurut Assistant Manager Coldwell Banker Angra Angreni, agar penyedia ritel tetap bisa survive, ditambah di tengah adanya moratorium, pengembang bisa menjadikan bangunannya menjadi bangunan mix use.
“Misalnya malnya menyatu dengan apartemen, atau gedung kantor, kan perizinannya beda dengan yang dijadikan mal saja. Mal juga harus bisa beradaptasi dengan teknologi supaya tetap bisa survive,” ungkapnya kepada Bisnis, Jumat (15/2).
Adapun, penyedia pusat perbelanjaan kini juga harus bekerja sama dengan teknologi perbankan untuk pembayaran melalui gawai atau mobile payments.
“Platform ini sekarang makin banyak digunakan di restoran, toko baju, yang menerima pembayaran lewat mobile payment. Ini lebih menarik juga karena akan ada banyak promo yang ditawarkan ke pengguna, dan fleksibel untuk digunakan di berbagai situasi, tidak hanya untuk berbelanja tapi juga untuk bayar transportasi dan sebagainya,” tambahnya.
James melanjutkan, saat ini sudah banyak pusat belanja yang tutup atau penjualannya melambat karena tergantikan dengan tenant yang lebih menarik seperti fesyen branded atau fast fashion seperti Uniqlo, HnM, dan Zara.
Selain itu, penyedia jasa makanan dan minuman juga harus bisa berinovasi misalnya menjadi cafe dan menyediakan mobile payment, kembali lagi untuk memenuhi kebutuhan milenial yang menjadi penduduk mayoritas di Indonesia saat ini.