Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) berpendapat Indonesia tidak akan bisa keluar dari ketergantungan impor pangan.
Ketua Umum AB2TI Dwi Andreas Santosa mengatakan saat ini kebutuhan pangan ditopang oleh impor sebesar 22 juta ton untuk 21 komoditas tanaman pangan. Dengan tegas dia mengucapkan siapapun nanti yang akan memerintah harus menghadapi kenyataan tersebut.
Jadi tidak mungkin, keluar dari ketergantungan itu semudah membalikkan telapak tangan. Sebaliknya, Dwi justru beranggapan Indonesia sudah masuk dalam perangkap impor.
"kita jugaperlahan sudah masuk ke impor trap [jebakan impor] sehingga ketika kita menghentikan impor contoh jagung. Pada 2016 diturunkan dari 3,5 juta ton menjadi 1,3 juta ton, akibatnya bahan substitusi melonjak tinggi, yaitu gandum. Impor gandum yang 100% tidak bisa kita produksi melonjak," katanya kepada Bisnis, Rabu (13/2).
Efek domino penghentian impor jagung pun berimbas pada harga pakan naik sampai empat kali. Itu pun ikut mendorong naiknya harga telur dan daging ayam. Oleh sebab itu, lanjutnya, pemerintah harus cermat dalam menentukan kebijakan dengan kondisi ekssiting yang skarang ini ada. "Jadi, kalau ada siapapun yang mewacanakan akan stop impor, kami akan swasemba itu bohong besar," ungkapnya.
Hal yang perlu segera dilakukan adalah keluar dari jebakan tersebut. Dwi mengusulkan agar upaya peningkatan produksi tetap digalakkan tapi dengan cara meningkatkan harga produk pertanian.
Pertama bisa dengan mengoptimalkan harga pangan sampai pada level dimana petani beruntung lalu distabilkan pada harga tersebut. Kedua bisa dengan menaikkan bea impor terhadap produk pangan yang masuk.
"Cara lainnya kenakan lagi tarif yang lebih tinggi, beberapa negara biasa mengenakan tarif di atas 30% tarif impor sehingga nanti produksi yang dihasilkan petani bisa mendekati harga pangan impor tersebut," pungkasnya.