Bisnis.com, JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menawarkan sejumlah agenda strategis di sektor pangan, energi dan infrastruktur untuk dijadikan program pembangunan bagi presiden terpilih untuk periode lima tahun ke depan.
Dalam keterangan tertulis Indef yang diterima Bisnis.com Kamis (14/2/2019), Indef menjelaskan bahwa pada 17 Februari 2019 yang akan datang, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menyelenggarakan debat calon presiden dan wakil presiden yang kedua tentang pangan, energi, sumber daya alam, lingkungan, serta infrastruktur.
Debat capres bukan saja merupakan ajang kontestasi menarik suara pemilih, namun juga meletakkan dasar-dasar arah kebijakan pangan, energi, sumber daya alam, lingkungan, serta infrastruktur di lima tahun yang akan datang. Sekaligus juga, janji-janji yang harus ditepati oleh capres dan cawapres terpilih.
Dalam hal ini, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) ingin menyampaikan agenda-agenda strategis dengan maksud agar publik mengetahui agenda strategis yang penting untuk pembangunan SDA dan infrastruktur sehingga menjadi perhatian tidak hanya bagi capres dan cawapres, tetapi bagi pemerintah yang akan datang.
Beberapa agenda strategis yang ditawarkan oleh Indef adalah sebagai berikut:
1. Permasalahan Pangan
- Sengkarut data pangan belum selesai. Indef mengapresiasi pemerintah yang telah merilis data pangan (beras) pada Oktober 2018 lalu yang terkoreksi sekitar 29,6 persen (13,63 juta ton. Namun demikian, komoditas pangan lainnya seperti jagung, kedelai, dan produk hortikultura belum dilakukan koreksi. Ini sangat penting dalam merancang kebijakan pangan yang efektif dan tepat sasaran baik yang berkaitan dengan produksi, distribusi, hingga kebijakan perdagangan.
- Manajemen produksi dan logistik komoditas pangan perlu diperbaiki. Berdasarkan data BPS, produksi beras pada semester 1 2018, produksi beras surplus 5 juta ton. Rinciannya produksi 19.6 juta ton dan konsumsi 14.7 juta ton. Pada semester 2, produksi beras defisit 2,1 juta ton. Dengan rincian produksi 12.8 juta ton dan konsumsi 14.9 juta ton. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat masalah manajemen produksi dan logistik komoditas, baik antar waktu maupun antar daerah.
- Impor sulit dihindari sebelum ada perbaikan tata kelola komoditas pangan, khususnya beras. Sejak 2000, tren impor beras meningkat. Impor beras 2018 merupakan tertinggi kedua sejak tahun 2000 dengan total impor 2,25 juta ton (1,003 juta US$). Impor tertinggi terjadi pada 2011 dengan total impor 2.75 juta ton (1,5 juta US$). Impor dapat dikurangi jika tata kelola di produsen (petani) diperbaiki termasuk mengurangi rantai tata
- Kesejahteraan petani bukanlah sekedar persoalan harga beras. Hal ini terlihat dari kenaikan harga beras yang semakin tidak berhubungan secara positif dengan kesejahteraan petani padi. Hubungan NTP Tanaman Pangan dengan harga beras (premium, medium dan rendah) semakin rendah dari tahun ke tahun. Pada tahun 2015, rata-rata hubungan NTP beras adalah sebesar 0,94. Rata-rata tersebut menurun pada 2016 menjadi hanya sebesar 0,92, 0,84 pada tahun 2017, dan menjadi hanya 0,47 di 2018. Artinya kenaikan harga beras yang terjadi saat ini semakin tidak dinikmati oleh petani.
- Keberadaan Satuan Tugas (Satgas) Pangan belum efektif. Hal ini disebabkan karena Margin Perdagangan dan Logistik Beras (MPLB) semakin meningkat. Pada tahun 2013, MPLB sebesar 17,27%, 10,43%(2014), 10,42% (2015), 10,57% (2016) dan 26,12% (2017). Tahun 2017 adalah tahun dimana satgas pangan dibentuk, namun MPLB justru meningkat. Artinya pada awal pendirian satgas pangan, MPLB justru meningkat. Kedua, harga eceran tertinggi tidak efektif meredam harga beras. Selama tahun 2018, hanya satu provinsi yang rata-rata harga beras dalam satu tahun berada di bawah HET yakni Provinsi NTB sebesar Rp183.3/kg.
Agenda Ke Depan
- Menata data pangan komoditas pangan, baik beras maupun non-beras. Diperlukan neraca per komoditas utama (jagung, kedelai, telor, daging (ayam dan sapi) serta produk hortikultura penyumbang inflasi. Neraca tidak hanya per komoditas, tapi juga mencakup per wilayah.
- Rekonstruksi Manajemen Produksi dan Logistik Pangan. Penting untuk membuat satu koordinasi dan sistem antara Kementerian Pertanian sebagai penanggung jawab sisi produksi, Bulog sebagai penanggung jawab pencadangan beras nasional, dan Kementerian Perdagangan sebagai penanggung jawab perdagangan pangan.
- Menggenjot produksi untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor komoditas pangan. Produksi pangan dapat digenjot dengan sejumlah kebijakan seperti mempertahankan lahan abadi pertanian di Pulau Jawa serta ekstensifikasi di luar Pulau Jawa, memperbaiki teknologi budidaya pangan, dan sebagainya. Apabila impor diperlukan dalam menjaga harga, maka harus memperhatikan siklus panen. Impor harus dilakukan pada saat defisit neraca beras dan menyasar wilayah defisit beras.
- Mengurangi rantai tata niaga komoditas pangan, termasuk untuk menekan biaya distribusi beras. Dalam hal ini, penting untuk pemerintah turut berperan dalam mengurangi biaya distribusi pada daerah-daerah yang biaya logistiknya tinggi. Di samping berperan dalam menetapkan harga akhir di tingkat konsumen.
- Menurunkan MPLB dengan optimasi satgas pangan dengan diberikan tanggung jawab dalam mengurangi disparitas biaya logistik agar petani juga menikmati kenaikan harga yang terjadi secara alamiah
2. Permasalahan Energi
- Indonesia mengalami defisit energi khususnya minyak. Hal ini disebabkan karena ketergantungan terhadap BBM impor yang sangat besar yang mencapai 41 persen dari konsumsi BBM. Kondisi ini akan semakin parah melihat produksi migas yang cenderung menurun, lebih rendah 30 % di 2018 dibandingkan 2014. Investasi migas yang anjlok, khususnya di hulu sehingga sulitnya dorong produksi, dipengaruhi erat oleh kurangnya koordinasi dan kepastian kebijakan serta bolongnya UU migas. Di sisi lain, kebutuhan energi diperkirakan akan terus meningkat dan mencapai 2.744 juta Barrel Oil Equivalent (BOE) pada tahun 2024 (Bappenas, 2018).
- Impor energi sulit untuk dihindari. Defisit neraca perdagangan migas mencapai rekor baru pada 2018 sebesar USD 8,57 milar dimana USD 12,4 miliar dari defisit migas sedangkan neraca non migas surplus USD 3,84 miliar sehingga kurs rupiah terhadap dolar tertekan di 2018 hingga menembus Rp 15200/1 USD di akhir Oktober 2018.
- Indonesia belum mencapai diversifikasi energi yang menjamin kemandirian energi. Suplai energi Indonesia masih didominasi oleh energi tak terbarukan yang mencapai 91,6 persen. Di saat yang bersamaan, pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) baru mencapai 8,4 persen sehingga masih sangat jauh dari target 23 % Energi Baru Terbarukan (EBT) di 2025.
- Indonesia masih lemah dalam ‘demand management’ energi. Batalnya pembangunan Mass Rapid Transport di beberapa daerah urban besar dan terus
tertundanya kebijakan serta insentif mobil listrik terus tingkatkan demand energi. Masih tingginya subsidi BBM yang ditanggung Pertamina juga kurangi minat terhadap transportasi publik atau kendaraan hemat energi selain gerus penerimaan Pertamina.
Agenda Ke Depan
- Pada sisi supply, tuntaskan revisi UU Migas dan tingkatkan insentif fisikal untuk pengembangan EBT. Perlu moratorium PLT batu bara dan disel untuk mencapai target bauran energi 2025. Akan habisnya minyak bumi dalam waktu (sekitar) 12 tahun dan gas bumi dalam (sekitar) 30 tahun hanya memberikan Indonesia waktu yang sempit untuk transisi ke energi terbarukan. Apabila dalam lima tahun ke depan tidak ada perubahan kebijakan nyata pada sisi supply dan demand, maka Indonesia akan menjadi pengimpor BBM terbesar dunia yang menggerus kesejahteraan masyarakat dan kurs rupiah serta ciptakan ketergantungan Indonesia pada negara produsen migas.
- Pada sisi demand diperlukan kebijakan untuk menurunkan pertumbuhan konsumsi energi dimana sarana transportasi masal publik (MRT/LRT/BRT) perlu ditingkatkan alokasi APBN dengan bekerja sama dengan pemda di daerah urban. Kebijakan dan insentif fiskal untuk kendaraan listrik tidak bisa ditunda lagi.
- Perlu dibentuk dana abadi energi yang diinvestasikan untuk mendorong kemandirian dan kedaulatan energi negara di masa depan.
3. Permasalahan Infrastruktur
- Ketertinggalan infrastruktur di berbagai wilayah Indonesia di banding beberapa negara tetangga. Sekadar contoh, Peringkat Logistic Performance Index (LPI) Indonesia pada 2018 berada di ranking 46, sementara Malaysia 41, Vietnam 39, dan Thailand 32. Upaya pembangunan infrastruktur sudah mulai dilakukan, namun belum mampu mencukupi kebutuhan yang diperlukan.
- Dampak langsung dari pembangunan infrastruktur secara makroekonomi belum banyak terlihat. Pertumbuhan ekonomi stagnan di tingkat 5 persenan dalam beberapa tahun terakhir, padahal anggaran untuk infrastruktur mengalami kenaikan cukup besar. Di sisi mikro, berbagai usaha UMKM yang biasa disinggahi pembeli mengalami penurunan permintaan akibat pembangunan jalan tol yang tidak disertai kebijakan menumbuhkan ekonomi di daerah-daerah secara memadai.
- Pembangunan infrastruktur belum mampu menggeser pusat pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini terlihat dari data kontribusi PDRB Pulau Jawa terhadap PDB Nasional pada tahun 2018 yang masih berada pada posisi 58,85 persen. Persentase ini justru mengalami kenaikan di bandingkan tahun 2014 yang berada pada posisi 58 persen. Padahal sudah ditargetkan kontribusi Pulau Jawa berada di bawah 56 persen
- Pembangunan infrastruktur di Indonesia belum memprioritaskan infrastruktur konektivitas laut. Hal ini terlihat dari data 5 proyek terbesar dimana energi dengan 11 proyek dengan nilai US$ 89,9 miliar, listrik dengan 1 program (US$ 76,7 miliar), jalan dengan 69 proyek senilai US$ 49,7 miliar, kereta api dengan 16 proyek senilai US$ senilai US$ 29,2 miliar, dan Special Economic Zones (SEZ) senilai US$ 31 miliar.
Agenda Ke Depan
- Pemerintah perlu lebih mengoptimalkan keterlibatan sektor swasta melalui skema Public Private Partnership atau KPBU (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha) dalam pembangunan infrastruktur ke depan. Porsi dominasi BUMN infrastruktur harus digeser dengan lebih melibatkan sektor swasta agar dapat menstimulasi langsung ke perekonomian. Di samping itu, kebijakan infrastruktur perlu dipilah dan dipilih berdasarkan prioritas yang paling bisa memberikan multiplier effect terhadap perekonomian secara luas.
- Kerugian yang dialami oleh UMKM yang terkena dampak langsung pembangunan infrastruktur perlu dicarikan solusi yang berbasis pada stimulasi perekonomian daerah (regional) seperti: penyediaan tempat jualan di rest area yang terjangkau harga sewanya; pelatihan dan pendampingan ke arah digital bagi UMKM; pembuatan akses keluar jalan tol yang langsung ke sentra-sentra UMKM dan lokasi yang berpotensi menjadi keunggulan daerah (tempat wisata, gedung pertunjukan seni, cagar budaya, dll.)
- Pembangunan infrastruktur harus diikuti dengan pengembangan wilayah (Regional Development). Jika tidak maka pembangunan infrastruktur hanya memberikan dampak positif terhadap Pulau Jawa. Wilayah kepulauan seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku dan Papua mulai men-design kebutuhan konsumsi khususnya barang-barang hasil manufaktur, termasuk pembangunan industry di daerah luar Jawa sehingga pulau-pulau di luar Jawa bisa menghasilkan produk yang dapat dijual ke Jawa. Jika ini sudah berhasil dijalankan, maka konsentrasi penduduk di Jawa akan berkurang.
- Pembangunan infrastruktur di Indonesia harus berfokus kepada pembangunan infrastruktur konektivitas laut. Hal ini mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang dipisahkan oleh laut. Selain itu, biaya logistik angkutan laut lebih murah 10 kali dibandingkan biaya logistik menggunakan angkutan darat atau truk.