Bisnis.com, JAKARTA -- Riwayat Damocles. Dia adalah pembantu Kerajaan Dynosius, Yunani Kuno.
Melihat kehidupan Raja, yang gemerlap, nyaman, aman bahan pangan dan dikeliling banyak bawahan, Damocles pun mencibirnya. Katanya, kehidupan Raja adalah anugerah paling beruntung di muka bumi.
Entah bagaimana, telinga Raja mendengar gerutuan tersebut. Damocles dipanggil. Dia didudukan di singgasana raja, plus dengan segala kemewahan dan kenyamanan, berikut dengan dayang-dayang istana.
Namun, hidup itu jadi tak berarti buat Damocles. Setiap saat dia menengadah, terdapat pedang menggantung yang hanya terikat oleh buhul rambut kuda di atas kepalanya, siap menghunus. Kematian dan kemalangan siap menyantap siapapun di atas singgasana raja.
Damocles kapok. Dia pun memetik pelajaran bahwa senantiasa terdapat ancaman bagi setiap kenyamanan, potensi kehancuran di tengah kemajuan, roda kehidupan rentan patah, tak lagi berputar.
Perumpamaan “Pedang Damocles” digunakan Nomura Holdings Inc. guna menggambarkan kerawanan ekonomi negara-negara berkembang. Nomura mengamati perekonomian 30 negara berkembang.
Dalam hasil riset yang turut dirilis di Bloomberg pada September tahun lalu, disebutkan tujuh negara berkembang ada dalam risiko krisis yang ditularkan nilai tukar. Ketujuh negara itu adalah Sri Lanka, Afrika Selatan, Argentina, Pakistan, Mesir, Turki, dan Ukraina.
Lima dari tujuh negara pun terjerembab krisis sebenarnya. Afrika Selatan dan Pakistan bisa lolos dari hunusan pedang krisis.
Di luar negara-negara itu, Indonesia, bersama-sama dengan Brasil, Bulgaria, Peru, Filipina, Rusia, dan Thailand, belum sepenuhnya keluar dari ancaman krisis.
Temuan Nomura didasarkan pada model peringatan dini--disebut Damocles--yang dibentuk untuk mengidentifikasi krisis nilai tukar untuk 30 negara berkembang. Model ini meneliti berbagai faktor termasuk cadangan devisa (cadev), tingkat utang, suku bunga, dan ekspor impor.
Kini, pemerintah tengah diserang isu utang yang membengkak. Namun, merujuk model penelitian seperti “Pedang Damocles” ataupun mengikuti indikator fragile economy, besaran utang bukanlah faktor tunggal yang menggerogoti perekonomian suatu negara.
Serangan membabi buta terkait utang pemerintah tak pelak membuat para ekonom mengernyitkan dahi. Pasalnya, jika ditimbang dengan rasio yang berlaku umum secara global, utang Indonesia masih terbilang aman.
“Perdebatan yang seharusnya sangat ekonomi, menjadi politis,” ujar Ekonom Institute for Development of Economic and Financial (Indef) Enny Sri Hartati kepada Bisnis, Kamis (7/2/2019).
Pekerja menyelesaikan proyek pembangunan Light Rail Transit ( LRT) di Jakarta, Senin (14/1/2019). /Bisnis-Abdullah Azzam
Perkara rasio utang, periode 2018 masih bisa dianggap wajar, seturut dengan ketentuan konstitusi yakni di kisaran 29% terhadap PDB. Padahal, pada 2005, rasio itu sempat melejit menjadi 47,3%.
Rentangnya baru mereda mereda pada 2012, ketika menempati kisaran 23% hingga pada 2014 di kisaran 25%.
Persoalannya, tegas Enny, dalam perekonomian utang itu merupakan kewajaran. Asalkan, terdapat tata kelola utang yang sehat dan bertanggungjawab.
Tahan Banting
Sebaliknya, bagi pemerintah juga tidak perlu berlebihan mengimani rasio utang yang dalam taraf aman, sebagai jaminan ekonomi tahan banting. Pasalnya, jika merujuk krisis yang melanda beberapa negara, terutama yang disebut sebagai six fragile economy versi Bloomberg, di mana Indonesia masuk sebagai salah satunya, rasio utang bukanlah pereda nyeri.
Turki yang merupakan salah satu negara di antara enam negara perekonomian rentan, mempunyai rasio utang yang sehat, bahkan lebih rendah dibandingkan Indonesia.
Rasio utang Turki sebesar 28,3% terhadap PDB pada 2017. Prestasi itu merupakan yang terendah sejak 2001, di mana pernah mencapai tarah 76,1% terhadap PDB.
“Turki dengan rasio utang lebih kecil dibandingkan Indonesia malah kena krisis juga. Jadi, simpulannya, rasio utang bukan faktor tunggal sebagai ukuran kesehatan ekonomi,” ungkap Enny.
Sebaliknya, Jepang dengan rasio utang yang melesat tinggi setelah Perang Dunia II ternyata belum tersentuh badai ekonomi yang kronis. Hal ini memperlihatkan bahwa utang bukan persoalan mendasar, terdapat banyak faktor yang lebih menentukan hidup mati ekonomi suatu negara.
Enny mendasarkan kerentanan ekonomi tersebut melalui kemampuan bayar, mulai dari kinerja neraca transaksi berjalan. Selain itu, terdapat komponen ketebalan cadangan devisa, sebab negara-negara yang dilanda krisis mencerminkan cadev yang cekak.
Lebih jauh, dia melihat kecenderungan penggunaan utang. Selama utang tersebut mengalir ke sektor produktif sehingga melebarkan ruang fiskal, maka tak perlu kerisauan berlebih.
“Hal tersebut dapat dilihat dari kinerja pertumbuhan ekonomi. Sayangnya, di sini kita hanya bisa memetik pertumbuhan 5,17%, persoalannya mengapa hal tersebut kejadian,” tuturnya.
Suasana bongkar muat peti kemas di Jakarta International Container Terminal, Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (8/1/2019)./Bisnis-Abdullah Azzam
Enny menyoroti pembenahan pada neraca dagang. Pasalnya, sewaktu terdapat momentum belanja pemerintah membesar yang diharapkan mengungkit daya beli masyarakat, hal tersebut justru tak terdeteksi.
“Sementara itu, impor terus menanjak. Jika dikatakan itu impor bahan baku, tapi pertumbuhan manufaktur tidak besar juga. Artinya, impor ini masih berat ke konsumsi,” tegasnya.
Sebagai gambaran, defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal III/2018 tercatat meningkat hingga 3,37% terhadap PDB atau senilai US$8,8 miliar karena terjadi defisit untuk transaksi minyak.
Defisit ini melebar dari defisit kuartal II/2018 yang sebesar US$8 miliar atau 3,02% terhadap PDB. Sejalan dengan itu, Bank Indonesia (BI) mencatat secara kumulatif defisit neraca transaksi berjalan hingga kuartal III/2018 sebesar 2,86% PDB atau masih berada dalam batas aman.
Gambaran lainnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat net ekspor berada dalam posisi minus 0,99%. Sementara itu, konsumsi rumah tangga masih menjadi motor pertumbuhan utama, hal inipun menunjukan jalur impor konsumtif yang menguat.
Hal senada juga diungkapkan Ekonom Universitas Indonesia (UI) Chatib Basri. Menurutnya, utang Indonesia masih relatif aman seiring rasio yang masih di tapal batas 29%.
Itu sebabnya saya mengatakam bahwa utang Indonesia relatif aman krn rasio utang/PDB nya masih sekitar 29%, dan jika pemerintah menjaga keseimbangan primer dan mendorong pertumbuhan, maka rasio ini akan menurun.
— M. Chatib Basri (@ChatibBasri) February 6, 2019
Namun, lanjut Chatib, pemerintah perlu menjaga keseimbangan primer dan mendorong pertumbuhan.
“Maka rasio ini akan menurun,” tulisnya di akun Twitter-nya, Selasa (5/2).
Lebih jauh, mantan Menteri Keuangan itu menekankan adanya tantangan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat.
“Jika terus tumbuh hanya 5%, maka ada risiko kita tua sebelum kaya,” celoteh Chatib.
Pembangunan ekonomi membutuhkan perhitungan berdasarkan data dan fakta, bukan sesumbar jargon. Sebab, jargon tak kebal dihunus Pedang Damocles.