Bisnis.com, JAKARTA — Fasilitas pembiayaan ekspor di Indonesia dianggap belum maksimal dalam mendorong kinerja ekspor Indonesia, terutama yang menuju ke negara nontradisional.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta W. Kamdani mengatakan, selama ini fasilitas pembiayaan ekspor yang diberikan pemerintah cenderung hanya memudahkan eksportir berskala besar.
Dalam hal ini, sebutnya, lembaga pembiayaan ekspor baik milik pemerintah maupun swasta cenderung memiliki syarat pemberian pinjaman yang sulit diakses oleh eksportir skala usaha kecil dan menengah (UKM) atau pemula.
“Ada kecenderungan lembaga pembiayaan ekspor di Indonesia lebih mudah menyalurkan pembiayaan ke perusahaan besar dibandingkan dengan [menyalurkan pembiayaan] ke UKM atau eksportir pemula. Sebab, lembaga pembiayaan ekspor cenderung memilih debitur yang memiliki risiko rendah, yakni eksportir besar dengan frekuensi dagang yang stabil,” jelasnya kepada Bisnis.com, Selasa (5/2/2019).
Padahal, menurut Shinta, perusahaan besar tidak perlu mendapatkan bantuan pembiayaan yang besar dari pemerintah, karena profil usahanya yang jauh lebih stabil.
Selain itu, lanjutnya, perusahan besar sejatinya memiliki akses yang lebih lebar untuk mendapatkan pembiayaan yang sifatnya lebih komersial.
Untuk itu, dia mendesak agar pemerintah meningkatkan intervensinya dalam memberikan bantuan pembiayaan ekspor kepada eksportir dengan risiko besar seperti UKM atau eksportir pemula.
Pasalnya, sebut Shinta, eksportir skala kecil tersebut sejatinya memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan guna menopang kinerja perdagangan Tanah Air.
“Untuk suku bunga pinjaman ekspor juga perlu diperhatikan. Memang rate-nya untuk ekspor lebih rendah dari pinjaman untuk umum. Namun, bunga ekspor kita masih kalah jauh dibandingkan dengan negara pesaing,” jelasnya.
Adapun, apabila menilik data statistik perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per November 2018, rata-rata suku bunga pinjaman ekspor dalam rupiah sebesar 10,16%.
Tarif tersebut lebih rendah dibandingkan dengan bunga pinjaman untuk pinjaman untuk konsumsi sebesar 11,80%, serta modal kerja dan investasi yang masing-masing sebesar 10,51%.
Sementara itu, menurut Shinta apabila dibandingkan dengan negara pesaing seperti Vietnam, bunga pinjaman untuk ekspor mereka hanya sebesar 5%.
Otomatis, sebutnya, produk-produk asal negar-negara tersebut menjadi lebih berdaya saing ketika diekspor.
Pada perkembangan lain, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Benny Soetrisno mengapresiasi upaya pemerintah yang beberapa kali menyuntikkan dana negara untuk pembiayaan ekspor.
Namun, dia menyatakan, upaya itu terkendala oleh persoalan aksesbilitas eksportir dalam mendapatkan pendanaan ekspor.
“Lembaga Pembiayaan Ekspor Impor [LPEI] memang awalnya dihadirkan untuk membantu sisi keuangan ekspor kita. Namun, pada praktiknya, mereka berlaku seperti bank umum dengan mengenakan persyaratan yang tergolong sulit diakses eksportir. Bunga pinjamannya LPEI pun tidak jauh beda dengan bank umum,” katanya.
Untuk itu, dia pun berharap pemerintah membantu mengintervensi kebijakan bunga pijaman ekspor.
Dia meminta agar bunga pembiayaan ekspor tidak didasarkan pada suku bunga acuan BI, tetapi tingkat bunga pinjaman ekspor di negara-negara pesaing RI seperti Vietnam, Thailand atau Malaysia.
Pasalnya, menurut Benny, di negara-negara tersebut bunga pembiayaan ekspornya jauh lebih rendah daripada di Indonesia.
Dia pun mengkritisi kebijakan pemerintah yang menggelontorkan pembiayaan ekspor menuju kawasan Afrika, Asia Selatan dan Timur Tengah hingga Rp1,6 triliun.
Pasalnya, nilai tersebut tergolong kecil untuk membantu mencukupi kebutuhan pinjaman para eksportir.
“Di tiga kawasan itu, semua hal harus dirintis dari awal, mulai perjanjian transaksi ekspor, asuransi, dan metode pengiriman barang. Kalau nilai suntikan dana pemerintah untuk pinjaman hanya sebesar itu, tentu sangat jauh dari kebutuhan,” kata dia.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional (PEN) Kemendag Arlinda berjanji akan mencarikan solusi dari keluhan para eksportir tersebut.
Menurutnya, pemerintah terus berupaya menyediakan fasilitas ekspor termasuk pembiayaan yang murah, asuransi hingga penjaminan aktivitas ekspor.
“Kami akan kumpulkan masukan dari para eksportir. Karena kami sadar untuk memacu ekspor terutama menuju pasar baru seperti Afrika, Timur Tengah dan Asia Selatan tidak mudah. Maka dari itu, kami berikan bantuan awal berupa dana pemerintah untuk pembiayaan ekspor sebesar Rp1,6 triliun,” jelasnya.