Bisnis.com, JAKARTA -- Tekanan akibat melembamnya ekonomi global tahun lalu bisa jadi adalah ‘pucuk dari gunung es’ bagi kinerja ekspor yang akan dihadapi Indonesia pada tahun ini.
Awal 2019, pemerintah seolah terbelalak dengan rapor neraca perdagangan yang mencatatkan defisit US$8,56 miliar, terburuk sepanjang sejarah.
Padahal, defisit neraca perdagangan sejatinya bukan pertama kali dirasakan Indonesia. Shortfall tercatat pernah terjadi pada 2014 senilai US$2,20 miliar, 2013 dengan US$4,08 miliar, dan 2012 senilai US$2,11 miliar.
Pemerintah dan sebagian pelngusaha pun kompak menyalahkan kondisi ekonomi global sebagai penyebabnya. Perang dagang China dan Amerika Serikat serta anjloknya harga komoditas andalan ekspor seperti minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO), karet, dan batu bara dituding sebagai biang keladinya.
Tak ayal, Kementerian Perdagangan hanya berani mematok target pertumbuhan ekspor nonmigas sebesar 7,5% secara year on year (yoy) pada 2019. Target itu jauh di bawah target ekspor 2018 yang dipatok tumbuh 11%, walaupun realisasinya hanya tumbuh 6,65% menjadi US$180,06 miliar.
“Perekonomian China sangat menjadi perhatian kami. Untuk itu, kami akan terus memantaunya sembari mencari terobosan-terobosan ekspor baru, untuk mengalihkan ketergantungan dengan China,” jelas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan Kemendag Kasan Muhri.
Namun, situasi itu sejatinya hanya sebagian kecil dari tantangan yang masih akan dihadapi oleh aktivitas ekspor Indonesia tahun ini. Selain proyeksi World Trade Oganization (WTO) mengenai pertumbuhan volume perdagangan global pada tahun ini sebesar 4% atau turun dari tahun lalu sebesar 4,4%, tekanan pun diperkirakan terus bermunculan.
Perang dagang antara AS dan China diprediksi masih akan menyeret kinerja perdagangan Indonesia tahun ini. Pemerintah yang selama ini berkoar-koar akan mampu memanfaatkan situasi perang dagang dengan mengisi pasar ekspor dan investasi dari China dan AS, tampaknya harus mulai memantau kembali kondisi terbaru yang sedang terjadi.
Data realisasi investasi penanaman modal asing 2018 yang dirilis Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menjadi salah satu cerminannya. Pasalnya, realisasi investasi dari China pada 2018 hanya mencapai US$2,4 miliar atau turun dari 2017 yang menembus US$3,4 miliar.
“Kita selama ini berpikir bahwa perang dagang bisa membuat China mengalihkan investasinya ke Indonesia, sehingga mereka bisa membangun pabrik manufaktur dan akhirnya mengekspor produknya melalui negara kita. Rupanya kondisinya tidak semudah itu,” jelas Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi.
Dia mengatakan, kebijakan China yang membatasi investasi keluar harus dipahami oleh Indonesia. Sebab, Negeri Panda akan fokus ke persoalan perekonomian di dalam negerinya setelah mengalami pukulan yang telak akibat sikap AS.
Impor China terhadap komoditas batu bara, CPO, dan karet pun diprediksi terus menurun seiring dengan banyaknya perusahaan yang terkendala ekspornya ke AS. Padahal, porsi ekspor nonmigas ke China mencapai 15% dari total ekspor nonmigas Indonesia pada tahun lalu.
Tekanan lain pun muncul dari kondisi normal yang baru (the new normal) dalam konsumsi dunia. Ketua Komite Tetap Ekspor Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Handito Joewono menyatakan, saat ini telah terjadi perubahan yang besar pada pola konsumsi global.
“Beberapa tahun lalu, perusahaan atau masyarakat boleh saja membelanjakan 50% pendapatannya untuk barang. Namun, saat ini tidak. Mereka hanya akan membelanjakan 30% dari pendapatannya untuk barang, sisanya menyebar ke tabungan dan leisure. Situasi ini harus dipahami betul oleh Indonesia,” jelasnya.
Situasi itu, menurutnya, akan semakin diperparah oleh kondisi perekonomian di negara-negara mitra dagang tradisional yang diprediksi makin terpuruk. Selain perang dagang antara AS dan China yang masih berlanjut, Jepang diperkirakan makin dekat dengan jurang resesinya.
Handito melihat, tekanan juga akan datang dari prediksi bahwa pergerakan nilai tukar mata uang utama dunia, seperti dolar AS, renminbi, dan euro. Selain itu, tren proteksionisme atau restriksi perdagangan akan semakin merebak di dunia.
“Saya prediksi volume pertumbuhan perdagangan dunia tidak akan mencapai 4% seperti WTO katakan. Target itu masih terlalu optimistis. Indonesia yang porsi ekspornya terhadap perdagangan dunia di bawah 1% akan sangat mudah terombang-ambing oleh kondisi global itu,” tegasnya.
Untuk itu, dia berharap pemerintah sesegera mungkin memiilih beberapa produk ekspor yang menjadi spesialisasi Indonesia di mata dunia.
Sebab, siapa yang tahu ‘tanda bahaya’ apa lagi yang akan mengadang ekspor kita?