Bisnis.com, JAKARTA--Bank Indonesia memperketat aturan risiko utang luar negeri bagi perbankan dengan menerapkan sanksi ketat baru.
Sanksi ketat tersebut adalah pelarangan keikutsertaan di dalam operasi moneter terkait dengan penempatan likuiditas bagi perbankan yang masuk pasar tanpa persetujuan. Selain larangan ikut operasi moneter, BI akan mengenakan sanksi denda, paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp5 miliar.
Sanksi ini dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.21/1/PBI/2019 tentang Utang Luar Negeri Bank dan Kewajiban Bank Lainnya Dalam Valuta Asing.
Direktur Departemen Surveillance Sistem Keuangan (DSSK) Bank Indonesia (BI) Yanti Setiawan mengatakan sanksi ini merupakan sanksi baru. BI mencoba menerapkan gradasi sanksi hingga sanksi maksimal, yakni pelarangan kegiatan operasi moneter terkait dengan penempatan likuiditas.
Sebelumnya, BI hanya mengenakan sanksi tertulis, kewajiban membayar denda, dan larangan mengajukan persetujuan kewajiban jangka panjang.
"Ini semua untuk membuat tata kelola di dalam pengaturan dan pengawasan utang luar negeri menjadi lebih baik," kata Yanti, Kamis (24/1).
Yanti menambahkan BI hanya mengenakan sanksi ini bagi bank yang masuk pasar duluan tanpa persetujuan bank sentral. Bagi BI ini merupakan kesalahan yang cukup besar sehingga sanksinya harus berat.
Jika bank melakukan pelanggaran lebih dari dua kali, maka penerapan sanksi akan semakin berat.
Dalam penerapannya nanti, seluruh instrumen di dalam operasi moneter berbau penempatan likuiditas akan dilarang. Namun, BI masih memberikan kebebasan bagi bank yang melanggar untuk melakukan operasi moneter dalam bentuk pemenuhan likuiditas.
"Kami memperbolehkan repo SBN 1 minggu dan lending facility," kata Yanti.
Adapun, jangka waktu sanksi berlaku selama 3 bulan. Sejauh ini, Yanti melihat kepatuhan bank masih cukup baik sehingga tidak harus menerapkan sanksi ini.
Deputi Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter (DKEM) BI Riza Tyas U.H. menegaskan kendati sanksinya berat, tetapi bank sentral tidak menutup akses ke pemenuhan likuiditas bagi perbankan.
"Repo SBN 1 minggu dan lending facility, dua itu kami bukan karena hukuman atau sanksi itu tidak boleh mematikan sehingga kalau kami tutup, nanti bank kesulitan likuiditas," ujar Riza.
Selain sanksi, PBI No.21/1/PBI/2019 ini merupakan revisi dari PBI sebelumnya PBI No.16/7/PBI/2014 turut memuat objek kewajiban bank yang baru, yakni transaksi partisipasi risko (risk sharing transaction).
Dengan demikian, bentuk transaksi ini wajib dilaporkan kepada bank sentral dalam negeri
Transaksi partisipasi risiko adalah transaksi pengalihan risiko atas individual kredit dan / atau fasilitas lainnya berdasarkan perjanjian induk transaksi pertisipasi risiko (master risk participation agreement).
Umumnya instrumen transaksi ini dimiliki oleh perbankan yang memiliki afiliasi dengan perbankan di luar atau bank dengan induk perusahaan atau cabang di luar negeri.
Transaksi ini merupakan transaksi baru muncul di London dan New York pada tahun 2009 dan baru aktif di Indonesia pada tahun 2016-2017.
Menurut Riza, BI menemukan bentuk transaksi ini di dalam laporan-laporan harian perbankan dan sistem informasi utang luar negeri tiga tahun lalu.
"Begitu kami mendeteksi itu, kami panggil seluruh bank devisa dan kemudian kami tanya siapa saja yang melakukan dan berapa jumlahnya," ujar Riza.
Dari catatan BI, jumlahnya tidak signifikan dan perbankan yang melakukan kegiatan ini tidak banyak. Kendati demikian, BI harus memasukan produk ini ke dalam aturan utang luar negeri perbankan yang baru.
"Fungsi dari pengaturan atau kebijakan adalah memitigasi risiko jadi tidak sampai meluas," katanya.