Bisnis.com,JAKARTA — Proses penghiliran industri dalam negeri yang terhambat, menjadi salah satu pemicu utama terjadinya defisit neraca perdagangan Indonesia pada 2018.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengatakan, proses penghiliran di dalam negeri yang berkembang sangat lambat, membuat kinerja ekspor nonmigas gagal menopang tekanan dari impor migas yang besar. Akibatnya, ketergantungan impor terhadap bahan baku untuk industri terus meningkat.
“Coba kalau penghiliran berjalan lancar. Persoalan tekanan dari impor migas dan sentimen dari harga komoditas ekspor andalan kita seperti CPO dan karet yang anjlok, tidak akan menjadi masalah,” jelasnya, Selasa (15/1/2018).
Dia juga menyebutkan, industri di dalam negeri, terutama untuk produsen substitusi bahan baku penolong, juga belum mendapatkan dukungan yang maksimal. Salah satunya ongkos tenaga kerja yang terbilang masih tinggi, sehingga biaya produksi meningkat dan berdampak kepada harga jual produk.
Alhasil, lanjutnya, para pelaku industri lebih memilih membeli produk impor yang harganya lebih murah dibandingkan produk substitusi impor yang ada di dalam negeri.
“Selain itu, pemerintah terbilang terlambat mengeksekusi sejumlah kebijakan pengendali impor maupun pendongkrak ekspor. Seperti mandatori B20 dan PPh pasal 22 yang baru dieksekusi semester II/2018. Padahal tanda-tanda tekanan dari sisi global sebenarnya sudah kelihatan sejak tahun lalu,” ujarnya.
Adapun berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia pada 2018 mencatatkan defisit US$8,56 miliar. Catatan defisit ini menjadi yang terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Adapun, defisit neraca perdagangan pernah terjadi pada 2014 sejumlah US$2,20 miliar, lalu 2013 dengan US$4,08 miliar dan 2012 senilai US$2,11 miliar.
“Berdasarkan data yang kami miliki, defisit juga terjadi pada 1975 senilai US$391 juta. Namun sayangnya kalau ditarik mundur dari 1975 hingga 1945, kami belum memiliki datanya,” ujar Kepala BPS Suhariyanto.
Suhariyanto mengatakan, defisit neraca perdagangan pada 2018 paling besar disumbangkan oleh sektor migas yang mencatat defisit US$12,4 miliar atau tumbuh dari 2017 sebesar US$8,57 miliar. Defisit migas pada tahun lalu utamanya didorong oleh defisit minyak mentah senilai US$4,04 miliar dan hasil minyak US$15,95 miliar.
Adapun, jebloknya kinerja sektor migas itu, tidak dapat ditopang oleh kinerja nonmigas yang hanya mencatatkan surplus US$3,83 miliar pada 2018. Capaian itu turun tajam dari 2017 sejumlah US$20,41 miliar.
“Kinerja sektor nonmigas ini paling besar disebabkan oleh anjloknya harga dan volume ekspor komoditas seperti CPO dan karet. Hal ini sejatinya menjadi pembelajaran bagi kita ke depan untuk melakukan diversifikasi produk ekspor,” lanjut Suhariyanto.