Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Spekulan Gula di Indonesia Merajalela, Ini Penyebabnya

Tingginya disparitas antara harga gula mentah global dan lokal dituding sebagai celah bagi permainan para spekulan komoditas berbahan baku tebu tersebut.
Seorang pekerja berdiri di antara tumpukan karung gula mentah/Bloomberg
Seorang pekerja berdiri di antara tumpukan karung gula mentah/Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA — Tingginya disparitas antara harga gula mentah global dan lokal dituding sebagai celah bagi permainan para spekulan komoditas berbahan baku tebu tersebut.

Ekonom Indef Faisal Basri mengatakan, berdasarkan data harga lelang di pasar Amerika Serikat (ICE), harga gula mentah (GM) dunia mencapai US$282/ton per 11 Januari 2018. Adapun, ongkos mengolah GM menjadi gula kristal rafinasi (GKR) berkisar antara US$200/ton—US$250/ton.

“Dengan kurs rupiah Rp14.500/dolar AS, maka harga GKR di pabrik Rp7.352/kg. Adapun, harga eceran tertinggi [HET] gula adalah Rp12.500/kg. Sementara itu, pergerakan harga gula domestik mendekati HET baru sekali terjadi yakni pada 28 Juni 2018. Disparitas harga itulah yang dimanfaatkan para pemburu renten,” jelasnya kepada Bisnis.com, Senin (14/1/2019).

Menurutnya, perbedaan harga itu dinikmati oleh para produsen GKR, terutama yang dengan sengaja merembeskan ke pasar gula konsumsi.

Fakta perembesan GKR di pasar tersebut, tampak dari data BPS terkait dengan impor gula kode HS 1701 pada 2018 yang mencapai 4,6 juta, naik dari 2017 sejumlah 4,48 juta ton.

Padahal, lanjutnya, pemerintah menyediakan alokasi impor GM untuk GKR pada awal 2018 sebanyak 3,6 juta ton dan realisasi serapannya hanya 3,37 juta ton. Sementara itu, pemerintah juga menerbitkan izin impor GM untuk diolah menjadi gula konsumsi sebanyak 1,01 juta ton.

“Selisih antara data impor gula BPS dengan total realisasi impor versi Kemendag itulah yang dimanfaatkan oleh spekulan, atau produsen dan importir. Petani tertekan karena pemerintah juga menggunakan gula impor untuk gula konsumsi sebagai instrumen stabilisasi harga,” jelasnya.

Untuk itu, dia meminta pemerintah menyusun neraca gula nasional sebagai landasan akurat dalam menyusun kebijakan secara jangka panjang. Pasalnya, impor dinilai sebagai kebijakan jangka pendek dan sering disalahgunakan oleh sejumlah pihak untuk kepentingan pribadi

Dia pun mendesak pabrik gula (PG) yang sudah usang, terutama milik BUMN, direvitalisasi. Sebab, dari 45 PG BUMN, hanya 25% di antaranya yang memiliki kapasitas produksi di atas 4.000 ton/hari.

Ketua Umum Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia Soemitro Samadikoen mengatakan, praktik spekulan gula merajalela sejak pemerintah memisahkan jenis pangsa pasar GKP dan GKR.

“Untuk GKP, kejanggalan sebenarnya bisa dilihat ketika pemerintah memutuskan menerbitkan kuota impor GM untuk GKP 1,01 juta ton pada tahun lalu. Impor itu dilakukan ketika petani masih punya stok sisa produksi 2017 yang besar dan menjelang periode panen,” jelasnya.

Menurutnya, kebutuhan GKP nasional setiap tahunnya mencapai 2,6 juta ton—2,8 juta ton. Sementara itu, produksi nasional mencapai rerata 2,2 juta ton/tahun. Untuk itu, dia memroyeksikan kuota impor gula untuk konsumsi seharusnya tidak lebih dari 1 juta ton setiap tahunnya.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita bersikeras bahwa kebijakan impor gula tahun lalu diambil oleh pemerintah lantaran kebutuhan gula nasional belum dapat dicukupi oleh produksi nasional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper