Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menakar Keanekaragaman Hayati Indonesia Sebagai Penggerak Ekonomi

Ekonomi Indonesia masih mengandalkan komoditas hasil Sumber Daya Alam (SDA), khususnya migas, mineral, dan hasil hutan, sebagai penggerak utama dengan kontribusi sebesar 20%-25% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Pesona laut Indonesia/indonesia.travel
Pesona laut Indonesia/indonesia.travel

Bisnis.com, JAKARTA -- Ekonomi Indonesia masih mengandalkan komoditas hasil Sumber Daya Alam (SDA), khususnya migas, mineral, dan hasil hutan, sebagai penggerak utama dengan kontribusi sebesar 20%-25% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Padahal, keanekaragaman hayati berupa sumber daya genetik masih menjadi potensi SDA yang belum terjamah.

Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian mencatat saat ini, Indonesia memiliki 552 unit kawasan konservasi dengan total luas 27,12 juta hektare (ha) atau 21% dari luas kawasan hutan di Indonesia, dengan ketersediaan sumber daya genetik yang sangat tinggi. Sementara itu, potensi ekonomi sumber daya genetik Indonesia mencapai US$19,4 miliar atau 1,9% PDB.

Asisten Deputi Pelestarian Hidup Kemenko Perekonomian Dida Gardera mengungkapkan secara keseluruhan, Indonesia baru memanfaatkan keanekaragaman hayati sebanyak 3% dari total potensi yang ada. Dia mengakui potensi ini belum dapat dikembangkan secara maksimal.

Salah satu kendalanya adalah regulasi yang mengatur instrumen ekonomi lingkungan hidup masih tersendat dalam tataran regulasi pelaksanaan. Pemerintah sudah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, tapi beleid ini belum memiliki aturan turunan.

"Terkait outlook dan rencana 2019, pertama, pemerintah akan menuntaskan kebijakan yang lebih implementatif [di level peraturan menteri]. Kedua, harus ada UU atau PP yang mengatur sumber daya genetik. Ketiga, optimalisasi sumber daya genetik yang dimiliki Indonesia," terangnya dalam "Seminar Bio Economy Outlook 2019" di Jakarta, Kamis (20/12/2018).

Dalam kesempatan yang sama, ekonom Institute Development of Economic and Finance (Indef) Berly Martawardaya menyatakan walaupun kontribusi terhadap PDB masih tinggi, sumbangan sektor SDA yang dimanifestasikan oleh sektor pertanian terus mengalami penurunan.

"Sektor pertanian dan industri justru melambat dan ini tidak sehat untuk ekonomi Indonesia ke depan. Perjalanan Asia Timur itu perjalanan menguatnya secara bersamaan sektor pertanian dan manufaktur," terangnya.

Guna meningkatkan sektor tersebut, tutur Berly, dibutuhkan investasi dan reindustrialisasi terutama kepada sektor pertanian. Industri yang dibangun haruslah industri hijau.

"Menghasilkan produk-produk green yang kompetitif, hemat energi tidak banyak emisi terbuang, produknya kompetitif dan bisa didaur ulang, jadi bio industri. Ini sangat cocok dengan konsep green," tambahnya.

Di sisi lain, guna memaksimalkan pembiayaan bagi pelestarian lingkungan hidup yang menopang pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera membentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang berperan mengelola dana pengendalian perubahan iklim.

Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral (PKPPIM) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Parjiono menuturkan BLU yang akan dibentuk merupakan turunan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup.

"BLU ini untuk menampung sumber-sumber pendanaan pengendalian perubahan iklim terutama yang dari luar negeri, termasuk untuk perdagangan karbon," paparnya kepada Bisnis.

BLU tersebut akan menjadi lembaga pembiayaan sapu jagat terkait pelestarian lingkungan, termasuk pemanfaatan keanekaragaman hayati. Harapannya, BLU ini dapat turut membiayai keperluan pembiayaan dalam meningkatkan komersialisasi dari sumber daya genetik.

Beleid Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur BLU tersebut direncanakan selesai pada awal 2019, tepatnya pada Februari. Jadwal tersebut mundur dari rencana semula yang ditargetkan selesai pada akhir tahun ini.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper