Bisnis.com, JAKARTA—Pelaku industri keramik tetap memperjuangkan harga gas yang berdaya saing agar kapasitas terpasang bisa digunakan secara penuh dan mampu bersaing di level regional.
Edy Suyanto, Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki), mengatakan pangsa pasar keramik nasional sebenarnya tidak sebatas di Indonesia saja, tetapi juga kawasan Asia Tenggara yang tarifnya sudah 0%. Namun, untuk bisa berkompetisi di level regional, industri keramik harus didukung oleh harga gas yang berdaya saing.
“Pasar regional harus digunakan, tetapi harus mampu berkompetisi. Supaya bisa bersaing apple to apple, salah satunya gas harus berdaya saing,” ujarnya di Jakarta, Rabu (12/12/2018).
Saat ini harga gas yang diterima industri dinilai kurang bersaing dengan negara tetangga, seperti Malaysia. Di negara jiran tersebut harga gas yang diterima industri US$5--US$6 per MMBTU, sedangkan di Indonesia bisa mencapai US$9—US$10 per MMBTU.
Komponen gas berkontribusi sebesar 35% dari biaya produksi keramik, sehingga penurunan US$1 per MMBTU akan berdampak cukup signifikan.
“Harga gas ini akan terus kami perjuangkan,” kata Edy, yang saat ini juga menjabat sebagai Chief Operating Officer PT Arwarna Citramulia Tbk.
Industri keramik sendiri merupakan salah satu industri unggulan karena didukung oleh ketersediaan bahan baku yang tersebar di wilayah Indonesia serta mampu menyerap tenaga kerja langsung sebanyak 150.000 orang dan tenaga kerja tidak langsung sekitar 2 juta orang.
Dari sisi kapasitas produksi, pada tahun lalu, Indonesia berada di peringkat 9 secara global dan urutan kedua di Asean dengan produksi sebesar 307 juta m2 dari kapasitas terpasang sebesar 620 juta m2. Vietnam menjadi pemimpin di Asean dan nomor 4 dunia dengan catatan kapasitas produksi sebesar 560 juta m2 sepanjang 2017.