Bisnis.com, JAKARTA – Bisnis feri nasional selalu menyajikan cerita yang membetot perhatian khalayak kendati tone-nya cenderung miris. Yang teranyar adalah prospek sektor usaha ini yang makin tidak jelas menyusul digratiskannya jembatan tol Surabaya-Madura (Suramadu) oleh pemerintah beberapa waktu lalu.
Disebut makin tidak jelas sebab sebelum jembatan tersebut dibangun terdapat belasan feri yang menyeberangkan masyarakat dari Ujung di Surabaya dan Kamal di Madura pergi-pulang setiap hari. Ketika jembatan Suramadu dibuka pada 2009 jumlahnya melorot hingga kini hanya tersisa tiga ‘ikan besi’ di lintasan ini.
Sejak saat itu, dua feri milik PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) dan satu feri milik PT Dharma Lautan Utama (DLU) yang dipertahankan melayani Ujung-Kamal oleh operatornya hanya mengandalkan pemasukan dari para pelaju yang tetap setia menggunakan jasa penyeberangan.
Namun jumlahnya tidak seberapa sehingga pengelola feri terpaksa merogoh kocek perusahaan menyubsidi operasional feri. Tarif menyeberang saat ini adalah Rp7.000 untuk pengendara motor, Rp46.000 bagi pengendara roda empat, Rp59.000 untuk bus atau kendaraan penumpang. Adapun untuk angkutan barang dibanderol Rp81.000.
Gampang saja sebetulnya bagi kedua perusahaan untuk menutup sama sekali lintasan yang mereka layani. Namun, dengan berbagai pertimbangan para operator tadi memilih untuk tetap bertahan. Jasa feri atau penyeberangan Ujung-Kamal amat vital keberadaanya dan sedapat mungkin harus dipertahankan. Feri di lintasan ini masih dan akan terus diperlukan, karena ia bisa menjadi alternatif bagi pengguna jembatan Suramadu mana kala muncul kendala teknis jembatan ini tidak bisa dilalui.
Di samping itu, keadaan emergency yang tidak bisa diprediksi dengan presisi kapan terjadinya juga berpeluang menginterupsi operasi jembatan.
Desakan yang muncul sejurus digratiskannya jembatan Suramadu oleh pengusaha feri, asosiasi yang mewadahi mereka, Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) dan kalangan pemerhati agar pemerintah memberikan subsidi, public service obligation atau apapun istilahnya, akhirnya dapat dipahami. Hal ini mengingat begitu strategisnya jasa feri di lintasan Ujung-Kamal. Dan, pemerintah patut dengan sungguh-sungguh mempertimbangkannya sebagai wujud dari kehadiran negara yang selalu digaungkannya.
Potret Buram
Persoalan juga membelit pengusaha feri di lintasan paling gemuk dalam bisnis penyeberangan di Indonesia, yaitu Merak-Bakauheni. Bila masalah di lintasan ini dan di lintasan Ujung-Kamal disandingkan, maka kita akan mendapatkan sebuah gambaran atau potret bisnis penyeberangan nasional yang cukup buram.
Persoalan yang dihadapi di lintasan Merak-Bakauheni tentu saja berbeda dengan persoalan yang ada di Ujung-Kamal. Lantas, apa persoalan yang dihadapi oleh operator feri di lintasan yang menghubungkan pulau Sumatra dan Jawa tersebut?
Pertama, kelebihan pasokan alias oversupply kapal penyeberangan. Situasi ini dipicu oleh inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 20/2010 tentang Angkutan di Perairan dan Peraturan Menteri (PM) Perhubungan No. 104/2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Penyeberangan, khususnya Pasal 24 Ayat 1 yang berbunyi “Penempatan jumlah kapal pada setiap Lintas Penyeberangan harus memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan”. Masuklah kapal, baru maupun bekas, dengan cukup masif.
Pasal di muka merupakan “copy-paste” aturan yang sudah dikeluarkan terlebih dahulu, yakni Pasal 23, PM Perhubungan No. 26/2012 tentang Angkutan di Perairan. Pemerintah kemudian meliberalisasi bisnis penyeberangan dengan mencabut Pasal 23 ini melalui Peraturan Menteri Perhubungan No. 80/2015 sehingga izin penempatan kapal dibuka seluas-luasnya meskipun rata-rata muat kapal pada setiap lintasan sangat rendah.
Akibat instrumen hukum ini, oversupply kapal di Merak-Bakauheni menjadi sangat parah. Ditambah kapal eksisting tentu saja lintasan Merak-Bakauheni, baik saat berlayar dan ketika akan sandar di dermaga, terbilang ramai jika tidak hendak disebut macet.
Kondisi ini bisa menimbulkan hazard bagi feri yang melayani lintasan tersebut atau kapal lain yang melintasi Selat Sunda. Tubrukan antara MV Norgas Cathinka dan KM Bahuga Jaya (feri) di Selat Sunda pada 26 September 2012 barangkali masih cukup segar dalam ingatan publik.
Tragedi itu menjadi bukti bahwa Selat Sunda terhitung rawan dan menyimpan potensi tubrukan antarkapal (collision) yang cukup tinggi akibat crowded-nya alur pelayaran.
Bukan hanya lintasan Merak-Bakauheni yang ‘berdarah-darah’ oleh inkonsistensi pemerintah tadi. Dalam dialog penulis dengan salah satu pengurus Gapasdap belum lama berselang, oversupply kapal feri juga terjadi di lintasan lain, semisal Kayangan (di Lombok Timur)-Pototano (di Sumbawa).
Feri yang melayani lintasan ini semula hanya berjumlah empat kapal tetapi kini berjumlah 20 kapal.
Masalah kedua yang melilit pengusaha feri di lintasan Merak-Bakauheni adalah pembatasan gross tonage (GT) kapal. Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. 88/2014 tentang Pengaturan Ukuran Kapal di Lintasan Merak-Bakauheni, kapal yang beroperasi di lintasan Merak-Bakauheni berukuran paling sedikit 5.000 GT.
Akibatnya, kapal-kapal yang tidak mampu dinaikkan GT-nya menjadi minimal 5.000 harus keluar lintasan. Meskipun pemerintah menjanjikan akan mendapatkan prioritas di dalam mendapatkan izin operasi, akan tetapi kenyataannya, seluruh lintas penyeberangan komersial sudah mengalami oversupply.
Pertanyaannya kemudian adalah kapal-kapal itu akan dikemanakan? Padahal pengadaan kapal-kapal ini juga tidak gratis, bahkan sebagian besar dibiayai oleh perbankan. Dengan gambaran seperti ini, Indonesia patut khawatir akan memburuknya bisnis angkutan penyeberangan domestik.
Pasalnya, jika kondisi ini terus memburuk, maka persentasi kredit macet perbankan atau non-performing loan (NPL) di Indonesia akan meningkat, peluang kerja menurun dan, yang paling menyedihkan, keselamatan pelayaran dipertaruhkan.
Pemerintah harus berani mengambil langkah strategis dengan mengaudit kemungkinan terjadinya pelanggaran prosedural dalam proses penerbitan izin penempatan kapal di lintas penyeberangan komersial di Indonesia, serta menyelidiki kemungkinan adanya pelanggaran hukum saat Kemenhub menerbitkan Peraturan Menteri No. 88/2014 maupun ketika izin penempatan kapal penyeberangan diterbitkan. Indikasi patgulipat (baca: korupsi) amat terasa dalam kebijakan tersebut.
Alangkah baiknya bila operator mengambil upaya hukum terhadap aturan itu.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Kamis (29/11/2018)