Bisnis.com, JAKARTA – Perkembangan produksi baja mentah di kawasan Asia dinilai harus mampu disertai perkembangan daya saing industri baja di Indonesia.
Proteksi terhadap industri dalam negeri dinilai perlu dihindari untuk dorong daya saing di pasar mancanegara.
Data World Steel Association menunjukkan tren positif produksi baja mentah (crude steel) di kawasan Asia. Secara umum produksi di Asia tumbuh 7,6% pada Oktober 2018 dibandingkan Oktober tahun sebelumnya (y-o-y). Pada Oktober tahun ini tercatat produksi sebanyak 110 juta ton, sedangkan Oktober tahun lalu sebanyak 102 juta ton.
Beberapa negara produsen utama baja mentah mencatatkan pergerakan yang beragam. China sebagai produsen terbesar di kawasan Asia mencatatkan pertumbuhan produksi sebesar 9,1% (y-o-y), di mana produksi Oktober 2018 mencapai 82,5 juta ton. Oktober tahun lalu negeri tirai bambu memproduksi baja mentah sebanyak 75,6 juta ton.
Jepang mencatatkan penurunan produksi 4,5% (y-o-y) pada Oktober ini dengan jumlah produksi 8,7 juta ton. Oktober tahun lalu Jepang mampu memproduksi hingga 8,9 juta ton baja mentah. Selain Jepang, Thailand pun mencatatkan penurunan yang sama, sebesar 4,5% (y-o-y).
Peningkatan signifikan terjadi pada Vietnam, negara tetangga ini mencatatkan pertumbuhan sebesar 123,3% (y-o-y). Pada Oktober 2018, Vietnam catatkan estimasi produksi baja mentah sebanyak 1,67 juta ton, sedangkan Oktober 2017 jumlah produksinya 'hanya' sebesar 750 ribu ton.
Baca Juga
Ekonom Universtitas Indonesia Fithra Faisal menilai kondisi perang dagang antara China dan Amerika Serikat dapat memicu pergeseran penjualan produk China ke Asia Tenggara. Indonesia sebagai salah satu pasar baja terbesar menurutnya harus berhati-hati.
Saat ini, Faisal menjelaskan produk baja asal China saat ini sudah banyak memasuki Indonesia. Dengan peningkatan produksi di sana, produsen dalam negeri dinilai perlu terus meningkatkan daya saing.
Faisal menilai bentuk proteksi terhadap industri baja perlu dihindari untuk meningkatkan daya saing industri. Kondisi perdagangan dunia kini, khususnya dalam kondisi perang dagang, menunut adanya kerja sama antar negara.
"Yang lebih baik adalah membuka koneksi kerja sama antar negara, masuk ke rantai produksi mereka. Biar bagaimana pun dengan adanya tren perdagangan, itu seharusnya ada tren investasi. Ke depan seharusnya polanya seperti itu, bukan kita membuat proteksi," ujar Faisal kepada Bisnis, Minggu (25/11/2018).
Faisal mencontohkan pordusen baja Krakatau Steel (KS) sebagai buah proteksi yang berlebihan selama puluhan tahun. Menurutnya, proteksi tersebut membuat potensi daya saing KS tidak terangkat secara maksimal.