Bisnis.com, JAKARTA--Pemerintah semakin memberikan perhatian terhadap pemanfaatan sampah sebagai salah satu sumber energi melalui penggunaan teknologi tertentu.
Sampah yang dihasilkan oleh masyarakat diperkirakan mampu menghasilkan potensi membangkitkan listrik sekitar 2.000 megawatt (MW).
"Kami menyadari sampah mempunyai potensi energi biomassa yang dapat kami konversikan menjadi energi lain. Salah satunya bisa menjadi listrik, tetapi juga tidak tertutup peluang untuk bisa kita manfaatkan menjadi biofuel," ujar Direktur Bioenergi Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Andriah Febby Misna, dikutip dari laman resmi Ditjen EBTKE, Sabtu (24/11/2018).
Febby menuturkan bahwa peningkatan pertumbuhan penduduk menyebabkan peningkatan volume sampah masyarakat, terbatasnya daya tampung dan usia pakai Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang ada.
Penetapan beberapa daerah sebagai daerah yang darurat sampah menjadi beberapa faktor pentingnya pengembangan sampah di Indonesia.
Menurutnya, beberapa kota memang sudah memiliki jumlah sampah cukup besar. Dari hasil survei yang dilakukan pemerintah, terdapat sekitar 15 kota yang memiliki sampah dengan jumlah besar, antara lain DKI Jakarta dengan potensi sampah yang dapat mencapai 7.000 ton per hari, disusul Surabaya, Bandung dan Bekasi.
Terdapat beberapa teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk mengolah sampah, selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk menjadi gas, pelet (yang bisa menggantikan batu bara), dan biofuel. Pemanfaatan tersebut tergantung dari teknologi yang digunakan. Diakui bahwa teknologi pengelolaan sampah masih cukup mahal.
Dari sisi regulasi, pemerintah telah mengupayakan beberapa peraturan sebagai payung hukum untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga sampah.
Di antaranya, Undang-Undang tentang Energi nomor 30 tahun 2007, yang menjadi payung hukum dalam pengembangan EBT.
Kemudian Undang-Undang nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah nomor 79 tentang KEN.
“Kemudian ada Peraturan Pemerintah terkait dengan proyek strategis nasional, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) itu merupakan salah satu dari proyek strategis nasional ini," kata Febby.
"Kemarin kami juga baru merevisi Perpres nomor 35 tentang percepatan program pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga sampah, di dalam peraturan tersebut, diatur terkait kota-kota yang menjadi target percepatan untuk pengelolaan sampah ini, juga masalah harga dari PLTSa. Kemudian kita juga punya Peraturan Menteri ESDM nomor 50 tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber EBT untuk listrik dimana di dalam peraturan ini juga mengatur salah satunya harga jual beli pembangkit listrik yang berbahan baku sampah,” ujarnya.
Feby menjelaskan bahwa sesuai Permen ESDM nomor 50 tahun 2017, mekanisme pembelian PLTSa diatur dengan penunjukan langsung.
Apabila BPP pembangkit setempat itu lebih besar dari rata-rata BPP nasional, maka harga jual beli listriknya itu maksimum 100% dari BPP setempat.
Sedangkan untuk daerah-daerah yang BPP pembangkit setempat dibawah rata-rata Pembangkit BPP Nasional, maka harga jualnya merupakan kesepakatan antarpihak.
"Kita sudah mempunyai komitmen untuk bisa mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29% pada 2030. Diharapkan dengan kita bisa memanfaatkan sampah ini menjadi energi, maka kita juga bisa mengurangi penggunaan energi fosil baik itu yang kita manfaatkan untuk energi listrik, maupun untuk biofuelnya," kata Febby.