Bisnis.com, JAKARTA -- Hari ini, Kamis (1/11/2018), adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh para pekerja dan pelaku bisnis di Indonesia. Setiap tahun, tanggal ini menandai saat di mana seluruh gubernur di Tanah Air mengumumkan secara serentak kenaikan upah minimum provinsi (UMP) beserta nominalnya.
Penetapan besaran kenaikan UMP dari tahun ke tahun memang selalu mengaduk polemik klasik antara pemerintah, serikat pekerja, dan pengusaha. Rasa-rasanya, selalu saja ada sesuatu yang tidak bisa berjalan mulus dan sinkron jika menyangkut penentuan upah buruh.
Meski pemerintah telah menetapkan formula aturan penentuan upah yang dianggap sebagai penengah antara keinginan pengusaha dan serikat pekerja, tetap saja pembahasan kenaikan upah selalu panas.
Mengacu pada PP No.78/2015 tentang Pengupahan, UMP tahun depan sudah ditetapkan naik 8,03%. Angka itu didapatkan dari upah tahun berjalan dikalikan angka inflasi sebesar 2,88% dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,15%.
Besaran kenaikan UMP 2019 itu sejatinya adalah yang terendah sejak 2015. Jika dirunut, kenaikan UMP 2017 mencapai 8,25% dari tahun sebelumnya, dan pada 2016 naik 11,5% dari tahun sebelumnya.
Pemerintah yakin besaran kenaikan UMP 2019 sejumlah 8,03% itu sudah cukup menjembatani kemampuan pelaku industri dan kebutuhan buruh. Namun toh, di tengah situasi ekonomi yang tidak pasti akibat depresiasi rupiah dan dampak kenaikan PPh impor, masih ada saja pengusaha yang keberatan.
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) DKI Jakarta yang juga anggota Dewan Pengupahan dari sisi pengusaha Sarman Simanjorang mengatakan, besaran kenaikan upah tiap tahunnya yang ditetapkan melalui penghitungan sesuai aturan yang berlaku mau tak mau memang harus diikuti karena menjadi komitmen bersama dalam penentuan upah.
Tak dipungkiri, penggunaan acuan PP No.78/2015 dalam menentukan besaran UMP tiap tahunnya ini membuat situasi jauh lebih kondusif. Sejak adanya PP tersebut, sidang Dewan Pengupahan jauh lebih kondusif dan lancar karena dalam aturan itu sudah secara jelas rumus dan formulasi penetapan UMP-nya.
Para pengusaha pun sudah jarang mengajukan penangguhan karena memang besaran kenaikan UMP sudah sesuai harapan pengusaha.
Sebelumnya, saat penentuan UMP masih menggunakan sistem penghitungan kebutuhan hidup layak (KHL), banyak perusahaan yang mengajukan penangguhan karena tak mampu mengikuti kenaikan yang begitu tinggi.
“Tahun lalu tidak ada yang mengajukan penangguhan, kami juga berharap tahun depan juga tidak ada yang mengajukan penangguhan," ujar Sarman kepada Bisnis, Rabu (31/10).
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Harijanto mengungkapkan, banyak sektor usaha padat karya seperti garmen, sepatu dan makanan-minimum yang tak mampu apabila mengikuti skema kenaikan UMP sesuai PP No.78/2015 karena terlalu tinggi dan tak sesuai dengan kondisi yang ada.
Terlebih, menurutnya, situasi pengupahan di Indonesia tak sesuai dengan produktivitas tenaga kerjanya.
"Tahun lalu banyak yang mengajukan penangguhan, seperti perusahaan dan pabrik garmen di Jawa Barat. Pengajuan penagguhan akan dilakukan setelah penetapan upah minimum kota/kabupaten ditetapkan pada 21 November mendatang," katanya.
PENANGGUHAN UMP
Penangguhan UMP pada umumnya merupakan kesepakatan bipartit yang dilakukan pengusaha ketimbang melakukan permohonan pailit atau pemutusan hubungan kerja (PHK).
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial Anton J. Supit berpendapat, pengajuan penangguhan UMP bukan sebuah solusi apabila perusahaan tak mampu mengikuti besaran kenaikan upah.
Pasalnya, perusahaan itu pun pada tahun berikutnya juga harus menyesuaian besaran upah yang berlaku sehingga kenaikannya menjadi dua kali lipat. Hal ini tentu membuat gap penyusaian besaran upah menjadi besar dan akan menjadi beban dua kali lipat bagi perusahaan.
"PP Pengupahan ini komitmen bersama, sehingga tetap diikuti karena aturan ini menjadi sebuah kepastian dalam penentuan upah. Ya penangguhan diberi waktu di mana tahun berikutnya harus mengikuti upah yang ada sehingga jadi dua kali lipat kenaikannya besaran upah," ucapnya.
UMP ini merupakan jaring pengaman bagi pelaku usaha dalam menentukan upah di mana berdasarkan filosofisnya diperuntukkan bagi pekerja lajang dengan masa kerja 1 tahun.
"Hanya mengatur upah minimum bukan hanya satu-satunya upah karena masih ada upah lembur dan lain sebagainya. Kalau memang sesuatu harapan ada upah yang tinggu itu bicarakam internal perusahaan. UMP ini menjadi rambu-rambu pengusaha agar tak memberikan upah di bawah yang ditetapkan. Pekerja bisa secara bipartit membicarakan kepada perusahaan masing-masing," terang Anton.
Direktur Pengupahan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Adriani mengklaim dari tahun ke tahun, perusahan yang mengajukan penangguhan semakin sedikit karena penetapan upah menggunakan PP No.78/2018 dinilai sudah sesuai kemampuan dunia usaha.
"Penangguhan sudah berkurang karena angka kenaikan upah ini merupakan angka yang realistis mengikuti inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Tahun lalu ada sekitar 100-an yang mengajukan penangguhan," tuturnya.
Adapun, para pengusaha yang tak mampu menyesuaian besaran upah dapat mengajukan penangguhan yang dimulai sejak UMP ditetapkan hingga sebelum upah itu diberlakukan pada 1 Januari 2019.
Dia menilai formulasi penentu ini dinilai paling adil untuk semua pihak, baik buruh, pencari kerja, maupun pengusaha. "Jadi setiap perusahaan ini wajib membuat dan menerapkan struktur dan skala upah di perusahaannya,” ujarnya.
Dia menjelaskan, upah minimum ini tetapkan oleh gubernur sehingga menjadi UMP, sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota dapat ditetapkan juga UMK, dengan syarat harus lebih tinggi dari UMP. Di samping itu, ada juga upah sektoral yang berdasarkan pada kesepakatan sektor tertentu.
Andriani menuturkan saat ini masih ada 8 provinsi yang UMP dan UMK masih di bawah nilai KHL sehingga wajib menyesuaikan upah minimum sama dengan KHL paling lambat tahun depan.
Kedelapan provinsi yang wajib menyesuaikan UMP sama dengan KHL itu a.l. Kalimantan Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara.
Dari kalangan buruh, serikat pekerja ini menilai formulasi UMP 2019 bertentangan dengan UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur penetapan upah minimum melalui mekanisme survei KHL.
“Kenaikan UMP ini sangat kecil dan tak dapat meningkatkan daya beli buruh. Banyak kebutuhan yang harganya naik," kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
Di sisi lain, pengamat Ketenagakerjaan Payaman Simanjuntak berharap perdebatan mengenai besaran kenaikan UMP sudah selesai dan dapat diterima semua pihak. Saat ini yang paling penting bagaimana meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan menjaga iklim yang kondusif agar investor mau masuk ke Indonesia.
Sudah saatnya pemerintah, tenaga kerja, dan pengusaha duduk bersama membahas bagaimana peningkatkan produktivitas tenaga kerja dan industri di Tanah Air agar tak tertinggal sesama negara baik di Asean maupun Asia.
Kalau tidak, sampai kapan mereka akan terus berkutat pada perdebatan soal kenaikan besaran UMP?