NUSA DUA — Kendati Indonesia telah menerapkan mandatori biodiesel B20, dukungan secara global tetap dibutuhkan untuk mengerek harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) sekaligus mendongkrak ekspor komoditas tersebut.
Ekonom Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan, penerapan mandatori B20 di dalam negeri memang cukup baik untuk mengurangi kelebihan pasokan CPO internasional. Namun, kebijakan itu belum terlalu menolong industri kelapa sawit domestik secara keseluruhan.
“Ekspor CPO kita secara volume memang naik, tapi nilainya turun karena harga di tingkat global terus melorot. Jadi dukungan dari luar negeri memang sangat dibutuhkan, karena mandatori B20 sejauh ini baru mengurangi pasokan domestik,” katanya kepada Bisnis.com, Rabu (31/10/2018).
Hal itu, lanjutnya, setidaknya tampak dari harga CPO dunia yang masih terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Bank Dunia (World Bank) harga komoditas tersebut pada Rabu (31/10) berada pada posisi US$529/metrik ton.
Harga tersebut terus mengalami penurunan sejak mencapai level tertingginya pada tahun ini, yaitu pada Februari, yang mencapai US$635/metrik ton.
Dengan demikian, upaya Indonesia untuk terus mengajak Malaysia meningkatkan konsumsi CPO domestiknya dengan mempercepat penggunaan B20 seperti RI, mendesak untuk dilakukan. Pasalnya, Malaysia sampai saat ini masih belum seagresif Indonesia untuk memperkuat konsumsi CPO domestiknya.
Adapun, Malaysia saat ini masih mengadopsi penggunaan biodiesel B7 dan akan ditingkatkan penggunaanya menjadi B10 pada November 2018.
Penolakan yang kuat dari industri otomotif dan industi terkait lainnya, menjadi salah satu penyebab negeri jiran tidak seagresif Indonesia dalam memandatorikan bahan bakar tipe B20.
Di sisi lain, Ahmad meminta agar Indonesia terus melobi India agar menurunkan bea masuk (BM) CPO Indonesia. Sebab saat ini adalah momentum yang tepat untuk membuka kembali pintu ekspor ke Negeri Bollywood.
“India sedang membalas Amerika Serikat karena baja mereka dibatasi ekspornya, dengan cara menunda impor kedelai AS. Ini momentum yang tepat, karena CPO bisa menjadi subtitusi yang tepat bagi minyak kedelai,” jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, Indonesia perlu mengimbangi kampanye negatif Uni Eropa (UE) terkait dengan CPO melalui strategi kampanye positif dan kajian ilmiah yang mendalam.
Salah satu caranya adalah dengan memajang kajian ilmiah Indonesia di jurnal internasional, mengenai untung dan rugi penggunaan minyak nabati secara keseluruhan.
Hal itu, dianggapnya dapat mengimbangi sentimen negatif UE, yang selama ini selalu menunjukkan kajian ilmiah bahaya penggunaan CPO saja, bukan minyak nabati secara keseluruhan termasuk minyak rapeseed, bunga matahari, dan kedelai.
“Nah, upaya-upaya untuk membuka pasar luar negeri itulah yang seharusnya nanti diperkuat di gelaran Indonesian Palm Oil Conference 2018 [IPOC] di Bali, di samping kampanye penggunaan biodiesel,” ujarnya.
BUJUK MALAYSIA
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan, selama ini Indonesia terus berupaya mendorong Malaysia untuk meningkatkan kadar penggunaan CPO dalam biodieselnya.
Hanya saja, upaya tersebut belum menemui respons yang baik dari negara tersebut.
“Kami selalu mengajak Malaysia melakukan hal yang sama [memandatorikan B20]. Namun, seperti itu, sampai sekarang belum ada gerakan yang signifikan dari negara itu,” katanya kepada Bisnis.
Akan tetapi, menurutnya, upaya untuk melakukan kampanye positif penggunaan CPO dan biodiesel akan terus dilakukan Indonesia. Salah satunya akan dilakukan dalam IPOC 2018 yang digelar pada 1—2 November 2018 di Bali.
Adapun, terkait dengan penjelasan Uni Eropa soal penerapan skema Indirect Land Use Change (ILUC) dan paparan mengenai perkebunan sawit RI yang ramah lingkungan akan menjadi salah satu topik pembahasan di IPOC 2018. Dalam sesi tersebut, Duta Besar UE untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Vincent Guerend akan hadir.
Di sisi lain, Ketua Umum Gapki Joko Supriyono masih optimis mandatori biodiesel B20 mampu mengangkat harga CPO di pasar dunia. Untuk itu dia mengaku tengah berupaya agar pelaksanaan mandatori tersebut berjalan 100%.
“Jika terlaksana 100%, kebijakan ini akan membantu mengurangi defisit neraca perdagangan dan tentu saja akan mengurangi dampak fluktuasi nilai tukar rupiah,” kata Joko Supriyono.
Joko mengatakan, pada tahun ini produksi minyak sawit nasional bisa mencapai 42 juta ton di mana 30 juta ton akan diekspor.
Ditemui secara terpisah, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita juga mengaku terus berupaya mendorong Malaysia meningkatkan konsumsi dalam negeri CPO-nya melalui biodiesel. Dukungan dari Malaysia, menurutnya, sangat penting untuk mengurangi pasokan CPO secara global, guna mengerek kembali harga komoditas perkebunan tersebut.
“Komunikasi dengan Malaysia masih terus berjalan, tetapi mereka tampak keberatan karena spesifikasi mesin mereka kurang cocok katanya. Seharusnya mereka bisa dan mau menjalankan, karena Indonesia saja bisa mengimplementasikan B20 yang akan disusul B30,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.
Adapun, terkait dengan lobi-lobi dengan India, Enggartiasto mengklaim telah mendapatkan respons positif agar bea masuk CPO Indonesia ke negara itu dapat direduksi.
Menurutnya, salah satu hal yang menyebabkan India memberlakukan bea masuk yang tinggi pada CPO adalah besarnya surplus perdagangan RI dengan negara itu.
Tercatat, pada tahun lalu surplus neraca perdagangan Indonesia dengan India mencapai US$10,03 miliar dan sepanjang Januari—Agustus 2018 surplusnya mencapai US$5,5 miliar. Hal itu membuat India menawarkan skema trade off agar CPO Indonesia bisa kembali mendapatkan bea masuk yang rendah.