Bisnis.com, JAKARTA — Keputusan pemerintah menunda kenaikan harga bahan bakar minyak jenis Premium dinilai akan semakin membebani PT Pertamina (Persero).
Penundaan penaikan harga Premium menjadi topik headline koran cetak Bisnis Indonesia edisi Jumat (12/10/2018). Berikut Laporannya.
Anggota Komisi VII DPR Ramson Siagian menyebut bahwa beban keuangan Pertamina akan semakin melebar dengan tidak adanya penyesuaian harga BBM jenis penugasan, yaitu Premium.
Pemerintah sebelumnya telah mengumumkan kenaikan harga Premium pada Rabu (10/10), tetapi kebijakan itu dibatalkan hanya kurang dari 1 jam setelah diumumkan.
Menurut Ramson, dari hasil rapat kerja dengan Pertamina, kinerja keuangan perseroan pada tahun ini cukup mengkhawatirkan.
“Kami sudah melihat kinerja keuangan mereka , tetapi tentu tidak bisa terbuka soal ini. Akan tetapi, menurut kami, itu berat. Apalagi mereka perlu investasi untuk mengelola berbagai blok terminasi,” katanya kepada Bisnis, Kamis (11/10/2018).
Legislator dari Partai Gerindra ini mengungkapkan, kendati sektor hulu migas Pertamina memberikan dukungan, tetapi sektor hulu belum dapat menutupi beban usaha di sektor hilir migas.
Dengan penundaan itu, selisih harga jual dan tingkat keekonomian Premium semakin lebar.
Selain itu, lanjut Ramson, dengan kondisi melemahnya nilai tukar rupiah ditambah dengan melonjaknya harga minyak dunia, setidaknya sekitar US$2 miliar devisa tergerus atas impor minyak mentah maupun produk BBM. “Benar kalau Pertamina tidak pernah bicara beban penjualan Premium karena otoritasnya di pemerintah,” tambahnya.
Berdasarkan data Pertamina, harga keekonomian Premium pada Januari 2017 sebesar Rp6.900 per liter. Pada Januari 2017, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia crude price/ICP) US$51,09 per barel.
Dengan ICP September 2018 sebesar US$74,88 per barel, harga keekonomian Premium jauh di atas Rp6.900 per liter. Apalagi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada saat ini lebih rendah dibandingkan dengan Januari 2017.
Selain gap harga jual, volume penjualan BBM dengan kadar oktan (research octane number/RON) 88 pada tahun ini lebih besar dibandingkan dengan realisasi pada 2017 sebanyak 7,03 juta kiloliter (kl).
Di sisi lain, Pertamina mengakui terbebani dalam hal distribusi Premium karena harga minyak mentah terus naik dan nilai tukar rupiah melemah.
KOMPENSASI
Akan tetapi, beban itu masih bisa dikompensasi dari hulu migas yang masih menguntungkan.
“Kondisi keuangan kita baik-baik saja di semester I/2018. Ada tekanan harga minyak, nilai tukar memang pasti menekan Pertamina,” ujar Sekretaris Perusahaan Pertamina Syahrial Muchtar, Kamis (11/10).
Namun, merujuk pada data Pertamina yang dipaparkan Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR belum lama ini, terungkap bahwa dampak penguatan harga minyak mentah dunia menyebabkan laba bersih Pertamina pada semester I/2018 tidak sampai Rp5 triliun atau jauh dari rencana kerja dan anggaran perusahaan (RKAP) 2018 senilai Rp32 triliun.
Jika data laba perseroan yang dipaparkan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR itu benar, kinerja Pertamina merosot tajam dibandingkan dengan semester I/2017 yang meraup laba bersih Rp18,7 triliun. Laba bersih Pertamina pada 2017 sebesar Rp27 triliun turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai lebih dari Rp40 triliun.
Sementara itu, Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini M. Soemarno mengatakan, kenaikan harga seri Pertamax dan Perta Dex di seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum telah sangat membantu kinerja Pertamina.
Rini mengklaim keuangan Pertamina saat tetap dalam kondisi baik meski tidak menaikkan harga Premium.