Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah akan mengubah kebijakan perpajakan terkait pungutan pajak kepada kontraktor yang menjual minyak ke Pertamina.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan akan ada revisi beleid di Ditjen Pajak untuk meringkankan pajak Kontraktor yang menjual minyak mentah ke Pertamina.
“Peraturan di Ditjen Pajak perlu direvisi, keuntungan yang diperoleh [kontraktor] dari selisih harga yang digunakan untuk biaya yang timbul dari transaksi [dengan Pertamina], hanya keuntungannya saja yang dikenakan pajak,” katanya, Selasa (9/10/2018).
Sayangnya, Arcandra tidak menjelaskan aturan mana yang akan diubah. Menurutnya, saat ini sedang dilakukan pembahasan.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Djoko Siswanto mengatakan KKKS yang menjual minyak mentahnya ke PT Pertamina, dikenai pajak sebesar 44%. Pasalnya, jika minyak dijual ke luar negeri, pungutan pajaknya relatif lebih kecil.
Menurutnya, permasalahan tersebut terkuak saat workshop yang melibatkan KKKS di SKK Migas. Saat ini, penjualan minyak mentah ke pembeli di dalam negeri sudah dibebaskan PPh 22.
Akan tetapi, dengan model penjualan minyak ke luar negeri yang menggunakan skema ICP plus, menjadi masalah di dalam negeri. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan Pasal 26 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas penghasilan yang diterima Wajib Pajak Luar Negeri dari Indonesia selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Pungutan diambil atas laba Pajak yang diperoleh badan usaha tetap dikenakan tambahan Pajak Penghasilan (PPh) atas laba setelah pajak yang diperoleh BUT sebesar 20% atau sesuai tarif yang berlaku dalam perjanjian pajak.
Menurutnya, seharusnya minyak bagian KKKS yang dibeli Pertamina tidak dipungut pajak. Mengingat, ketika KKKS menjual minyak melalui tranding arm, kontraktor tidak dikenakan pajak PPh Pasal 26.
Jika kebijakan ini tidak diubah dan KKKS tetap akan dikenai pajak, Djoko menyaranakan, maka pajak tersebut sebaiknya dimasukkan ke harga jual dari KKKS ke Pertamina. Selanjutnya, Pertamina akan membayarkan pajak itu ke Pemerintah.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengatakan dalam pelaksanaan kebijakan penawaran minyak mentah kontraktor ke Pertamina, terjadi kendala di kebijakan fiskalnya.
“Ada yang miss disini, karena sebenarnya tidak sederhana. Karena kontraktor ada sudah mendapat kebijakan tax treaty. Nah kalau di jual di dalam negeri, mereka akan dapat beban lebih tinggi,” katanya.
Menurutnya, dengan memberi keringanan kepada kontraktor, Kemenkeu mengorbankan ruang pendapatan negara. Di sisi lain, jika urusan perpajakan tidak diatasi, maka Pertamina akan membeli minyak dari kontraktor dengan harga yang relatif tinggi.