Penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang mengeluarkan lima jenis burung dari daftar hewan dilindungi diyakini akan memberikan dampak ekonomi bagi bisnis burung.
Meski sempat terjadi aksi pro kontra terhadap penerbitan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 92/2018 yang merupakan perubahan atas Permen LHK No. 20/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi, beleid tersebut tetap diteken oleh Menteri LHK Siti Nurbaya.
Dalam beleid tersebut, lima jenis burung dikeluarkan dari daftar hewan dilindungi. Kelima jenis burung tersebut adalah kucica hutan atau murai batu, jalak suren, cucak rawa, anis-bentet kecil, dan anis-bentet sangihe.
Sebelum beleid baru terbit, pecinta burung berkicau mendesak pemerintah segera merevisi Permen LHK No.20/2018 yang dinilai sudah sering dilombakan dalam kontes burung berkicau. Salah satunya terjadi di Madiun, Jawa Timur, pada Selasa (14/8).
Rata-rata alasan penolakan tersebut adalah kekhawatiran para penangkar, dan pedagang akan lesunya bisnis. Rudi Wisnu Wardana, salah seorang pedagang dan pehobi burung, yang menjadi perwakilan peserta aksi dari Madiun menyebutkan mereka penolakan mereka atas Permen LHK No. 20/2018 lantaran dinilai dapat memicu keleseuan perekonomian pekerja yang menggantungkan hidup dari burung.
"Sejak adanya Permen ini [Permen LHK 20/2018], pedagang mulai resah. Tidak hanya pedagang, tapi penghobi, tukang pencari kroto, peternak jangkrik, pembuat sangkar juga resah," katanya.
Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu mengakui besarnya perputaran uang di bisnis burung. Menurutnya, perputaran uang di bisnis burung ini bisa mencapai Rp1,7 triliun per tahun, mulai dari penangkaran, pakan, dan sangkar.
Menurut Jokowi, penangkaran burung selain memberi ruang bagi penikmat burung juga mendorong ekonomi kemasyarakatan, menjaga spesies burung dari kepunahan.
TAHAN KUOTA
Direktur Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Wiratno menyebutkan keadaan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat memang menjadi salah satu faktor pertumbangan ketika memutuskan mengeluarkan kelima jenis burung tersebut dari daftar hewan dilindungi selain rekomendasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Namun demikian, dikeluarkannya hewan-hewan ini dari daftar dilindungi tak lantas membuat para penangkar atau pemburu bisa bebas mengambil mereka dari alam.
Wiratno menyebutkan bahwa sejak saat ini, KLHK memutuskan bahwa pihaknya tidak akan mengeluarkan kuota tangkapan untuk burung. Dengan demikian, tidak boleh ada pihak yang melakukan penangkapan burung-burung ini dengan alasan apapun.
“Perburuan [hewan] kalau tidak dilindungi, itu basisnya kuota. Kalau tidak ada kuotanya mana bisa dia mengambil, tidak bisa,” kata Wiratno.
Dia menjelaskan, dengan tidak dikeluarkannya kuota tangkapan oleh Kementerian LHK, otomatis surat izin untuk menangkap atau membawa hewan liar dari alam tidak akan keluar.
Dengan demikain, barangsiapa yang diketahui membawa hewan liar yang diambil dari alam akan berurusan dengan hukum.
Selain itu, pihaknya juga akan melakukan pendataan burung-burung yang ada di pedagang maupun penangkar. Hal ini dilakukan agar pihaknya bisa mengetahui dengan jelas jumlah burung-burung baik yang dilindungi maupun tidak yang ada di penangkar, pedagang, maupun penghobi saat ini.
Di samping itu, burung-burung yang diketahui sebagai hasil buruan ilegal dari alam dan bukan hasil penagkaran akan berpotensi besar disita untuk dikembalikan ke alam dan dijadikan barang bukti.
”Nah yang perburuan burung ini juga harus segera kita kembalikan ke alam, agar di alam juga jumlahnya tidak semakin menurun,” jelasnya.
Pihaknya pun menetapkan satu tahun masa evaluasi sejak diterbitkannya Permen No. 92/2018. Satu tahun masa evaluasi ini akan dimanfaatkan untuk mendapat persebaran burung baik di alam maupun di penangkaran agar diperolah jumlah yang sebenarnya terkait populasi burung yang ada di Indonesia.
Bisnis burung hias memang menggiurkan, terutama dengan dukungan komunitas yang menjadi penggemarnya. Meskipun demikian, sudah menjadi tugas pemerintah untuk menyeimbangkan sisi ekonomi dengan konservasi sehingga burung hias tak jadi langka di alam bebas.
*Artikel ini telah diterbitkan dalam koran Bisnis Indonesia edisi Senin (8/10/2018)