Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah ketidakpastian global akibat normalisasi kebijakan moneter di negara maju dan ketegangan perang dagang, kebijakan fiskal kontrasiklus (countercylical fiscal policy) dapat menjadi alat efektif untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Kepala Ekonom Asian Development Bank (ADB) Yasuyuki Sawada menuturkan Asia yang sedang berkembang setelah krisis keuangan 1998 yang menghantam kawasan ini memiliki tantangan baru yang mengancam perkembangan dan pertumbuhan.
Namun, dia meyakini kantong kerentanan dapat dikelola jika dipantau dengan erat dan kebijakan untuk mengatasinya sudah dirancang dengan baik dan dilaksanakan dengan hati-hati.
Menurutnya, kantong kerentanan yang mulai muncul dapat merusak stabilitas meliputi utang yang tinggi, aliran modal yang mudah berubah, depresiasi mata uang yang tajam dan harga rumah yang tinggi serta penularan krisis keuangan lintas negara.
"Kebijakan kontrasiklus dapat membantu menstabilkan perekonomian," ujar Yasuyuki dalam siaran pers, Kamis (26/09). Akan tetapi, dia melihat langkah kebijakan ini memerlukan kelonggaran fiskal yang memadai.
Selain mengurangi utang atau memperluas basis pajak, dia menilai pemerintah bisa berinvestasi dalam penyangga fiskal seperti dana kekayaan negara (soverign wealth fund) yang dapat dikelola dengan baik oleh negara-negara dengan sumber daya alam melimpah.
Di samping soverign wealth fund, pemerintah dapat mempersiapkan jaring pengaman sosial untuk melindungi masyarakat ekonomi rentan.
Sementara itu, Yasuyuki menilai kebijakan moneter seharusnya memperhatikan siklus kredit dan juga siklus usaha karena keduanya tidak selalu berjalan bersamaan.
Menurutnya, nilai tukar harus tetap fleksibel untuk melindungi perekonomian lebih baik terhadap guncangan eksternal yang berat. "Tetapi otoritas moneter perlu bertindak guna mengurangi volatilitas yang tinggi," tegas Yasuyuki.
Opsi yang lain adalah menetapkan pengendalian aliran modal yang dapat mengurangi tekanan nilai tukar. Kebijakan makroprudensial yang hati-hati, seperti pembatasan loan to value (LTV) dan rasio utang terhadap pendapatan (debt to income ratio).
Langkah kebijakan ini telah semakin populer sejak krisis keuangan global. Dia melihat pemangku kebijakan di Asia menjadi pengguna yang paling aktif dari berbagai kebijakan makroprudensial tersebut, terutama kebijakan menstabilkan pasar properti.