Bisnis.com, JAKARTA - Kisruh PM152/2016 Tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang dari dan ke Kapal mencuat lantaran dinilai dapat mengancam eksistensi perusahaan bongkar muat (PBM) lantaran beleid itu menyebutkan badan usaha pelabuhan (BUP) yang memperoleh konsesi dapat melakukan kegiatan bongkar muat di pelabuhan.
Pakar Kemaritiman Institut Teknologi Sepuluh November Raja Oloan Saut Gurning menyatakan perusahaan bongkat muat memang sangat dibutuhkan di suatu negara. Bahkan, keberadaan mereka seharusnya bisa melebihi perusahaan BUMN.
"Stevedoring company ini seharusnya bisa melebihi usaha negara atau Pelindo. Praktek di negara lain sebetulnya merekalah yang kita sebut port terminal operator," kata Saut, Rabu (20/9/2018).
Dia menyatakan persoalan terkait PM152/2016 sebetulnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara lain pun pernah terjadi namun permasalahan tersebut rata-rata sudah selesai. "Perdebatannya lebih dulu selesai," kata dia.
Perdebatan paling tua, menurutnya, adalah Amerika Serikat tahun 1970 sampai 1990. Negara itu memperdebatkan kisruh ini selama hampir 20 tahun.
Kemudian yang terbaru adalah United Kingdom dengan nama Bristish UK Stevedoring. Namun, kisruh dapat diakhiri dengan kesepakatan bersama yang harmonis.
Baca Juga
"Pada akhirnya ada kesepakatan kolaborasi dengan pelabuhan UK Port," ujarnya.
Sementara Malaysia, kata Saut, sudah lebih dulu selesai dalam lima tahun. Adapun yang masih mempersoalkan adalah Jepang, Hongkong dan Taiwan. "Masih ramai tapi diki-dikit mau selesai," katanya.
Sebelumnya, Kementerian Perhubungan mengadakan Forum Group Discussion (FGD) mengenai penyempurnaan PM152/2016 dengan Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI), Perkumpulan Pengusaha Bongkar Muat Indonesia (PPBMI), dan Badan usaha Pelabuhan (BUP) di Jakarta pada Rabu (20/9/2018).
Dalam FGD tersebut, diharapkan ada penyelesaian terbaik untuk menyelesaikan kisruh terhadap PM 152/2016 termasuk dorongan kolaborasi dan sinergi antara APBMI dan BUP.