Bisnis.com, JAKARTA — Meskipun pembahasan tentang upah minimum provinsi (UMP) 2019 belum final, Dewan Pengupahan Nasional menilai besaran kenaikan upah untuk tahun depan idealnya mencapai 8%—9%.
Anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta Dari Sisi Pengusaha Sarman Simanjorang menuturkan, penentuan UMP akan tetap mengacu pada Peraturan Pemerintah No.78/2015 tentang Pengupahan.
Dalam aturan itu, kenaikan upah dihitung berdasarkan UMP tahun berjalan dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.
"Permintaan buruh terhadap kenaikan upah sebesar 8%—9% pada 2019 ini tentu sudah mendekati angka jumlah pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional," ungkapnya kepada Bisnis, Rabu (12/9/2018).
Kendati demikian, dia berharap agar buruh mau memahami posisi pengusaha saat ini yang tengah tertekan akibat pelemahan rupiah dan kebijakan PPh impor, sehingga menambah beban operasional pelaku industri khususnya yang masih tergantung bahan baku import.
"Kami sedang persiapan sidang penetapan UMP untuk DKI Jakarta pada awal Oktober nanti. Pengusaha saat ini terjepit karena kenaikan PPh impor, nilai tukar rupiah, dan ditambah lagi nanti kalau kenaikan upah cukup signifikan," tutur Sarman.
Di sisi lain, pengusaha langsung merespons negatif wacana kenaikan UMP sebesar 8%—9% atau sekitar Rp300.000 pada 2019.
Saat dihubungi terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Ketenagakerjaan Harijanto mengatakan usulan kenaikan UMP tahun depan tersebut memberatkan para pengusaha.
“Secara penghitungan kalau berdasarkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi memang kenaikan UMP tahun depan itu direntang 8% hingga 9%, tapi besaran kenaikan ini akan memukul semua sektor industri di Indonesia," ujarnya.
Mewakili dunia usaha, dia berharap besaran kenaikan upah tahun depan relevan dengan kondisi industri di Indonesia saat ini.
Senada, Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai kenaikan UMP sebesar 8%—9% itu akan membuat sektor industri di Indonesia terganggu di tengah kondisi ekonomi saat ini.
"Kalau dalam aturan pengupahan, kenaikan upah pada tahun ini diperkirakan sebesar 8,5%. Itu hitungannya," ucapnya.
Namun, menurutnya, permintaan kenaikan upah itu juga sangat bertolak belakang dengan produktivitas buruh. Pasalnya, produktivitas buruh di Indonesia stagnan di angka 3% dalam setahun.
“Tentu akan menyebabkan perusahaan mengalami kenaikan ongkos produksi tanpa diiringi dengan produktivitas yang memadai. Idealnya kenaikan UMP maksimal 7% saat kondisi seperti ini. Namun, rule of thumb-nya seharusnya 3%—4% dari pertumbuhan produktivitas."
Berdasarkan data dari Asian Productivity Organization (APO), pada 2015 produktivitas per pekerja Indonesia mencapai US$24.340, kalah bila dibandingkan dengan Thailand yang senilai US$26.480, Malaysia US$55.700, dan Singapura US$127.810.
Namun, apabila angka pada 2015 itu dibandingkan dengan catatan 1990, produktivitas pekerja di Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 3,1% per tahun.
Saat ini produktivitas per pekerja Indonesia berada pada urutan ke-11 dari 20 negara anggota APO, sedangkan di tingkat Asean, produktivitas per pekerja Indonesia berada pada urutan ke-4.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar tetap meminta penghitungan kenaikan UMP tahun depan disesuaikan dengan aturan yang berlaku, yaitu pada kisaran 8%—9% atau sekitar Rp300.000
Namun demikian, usulan angka kenaikan tersebut belum pasti, karena harus melihat tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi sampai akhir tahun. "Kalau dilihat sampai kuartal II/2018, ekonomi tumbuh 5,2% lalu inflasi 3,5%. Nanti kalau inflasi naik terus ke 4% kemungkinan upah bisa naik 9%," ujarnya.
Sekadar catatan, tahun lalu, kenaikan upah 2018 ditetapkan sebesar 8,71% dari penghitungan inflasi yang sebesar 3,72% dan pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 4,99%
Timboel memahami sektor industri saat ini sedang sulit akibat kebijakan PPh impor dan depresiasi rupiah, sehingga pembahasan kenaikan upah ini perlu dilakukan lewat diskusi bersama antara pemerintah, pelaku usaha, dan serikat pekerja.
Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) Said Iqbal menambahkan berdasarkan data International Labour Organization (ILO), upah rerata buruh Laos mencapai US$119 per bulan, Kamboja US$121 per bulan, Indonesia US$174 per bulan, Vietnam US$181 per bulan, Filipina US$256 per bulan, dan Thailand US$357per bulan.
"China dengan upah saat ini yang 3,5 kalinya dari Indonesia, industri di sana lebih maju karena produktivitas tenaga kerjanya tinggi. Upah rerata di Indonesia pun juga kalah dari Thailand," ucapnya.
Said berharap penghitungan upah tahun depan juga didasarkan pada 84 item kebutuhan hidup layak (KHL) dari yang tadinya hanya 60 item. Menurutnya, penghitungan upah yang berdasarkan dengan KHL akan mendongkrak daya beli buruh yang saat ini tengah merosot sebesar 30% akibat adanya kenaikan harga barang dan kebutuhan pokok.
“Tentu, daya beli buruh yang rendah juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Harga sewa rumah kebanyakan naik dua kali lipat. Daya beli buruh ini turun 30% salah satu untuk dongkrak daya beli ini dengan kenaikan upah yang sesuai KHL," tutur Said.