Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Arif Budisusilo

Direktur Pemberitaan Bisnis Indonesia

Bergabung dengan redaksi Bisnis Indonesia pada 1996. Menulis isu ekonomi makro dan entrepreneurship. Belakangan memberi perhatian pada perkembangan media dan ekonomi digital. Twitter @absusilo

Lihat artikel saya lainnya

Ngobrol Ekonomi - Asian Games 2018: Siapa Kita? Indonesia…

Di balik keberhasilan Asian Games 2018, perjalanannya tidaklah mudah. Persiapan yang dimiliki Erick Thohir sangat mepet, seperti “mission impossible”.

Minggu, 2 September 2018, Asian Games ke-18, akan berakhir. Meski baru bisik-bisik, saya dengar upacara penutupan pesta olahraga terbesar se-Asia itu takkan kalah spektakuler dari upacara pembukaan yang dipuji dunia.

Kalau ada orang Indonesia yang hari-hari ini paling deg-degan menjelang penutupan Asian Games itu, dia barangkali adalah Erick Tohir, Ketua Pelaksana Asian Games 2018 Jakarta-Palembang.

“Sampai tanggal 3 (September) baru bisa (merasa) plong. Kontingen terakhir pergi, baru (saya merasa) ok,” ujar Erick Thohir saat saya bertanya pada Kamis (30/8/2018) pagi, bagaimana perasaannya menjelang detik-detik Asian Games 2018 berakhir.

Erick adalah usahawan muda, pemilik kelompok usaha Mahaka. Dia pernah menjadi pemilik Inter Milan, dan menjabat Presiden klub sepak bola Italia itu. Erick juga sempat memiliki klub bola di Amerika, DC United, sekaligus membangun stadion di DC yang diberi nama Audi Field. Nama ini diambil dari merek otomotif yang membeli naming rights stadion tersebut.

Kini, selama hampir tiga tahun terakhir, Erick Thohir mengemban “tugas negara”. Ia dipercaya menjabat sebagai Chairman Inasgoc. Ini kependekan dari Indonesia Asian Games Organizing Committee, atau Panitia Pelaksana Asian Games Indonesia.

Dan, kita tahu, pembukaan pesta olahraga itu berlangsung spektakuler, heboh, dan mendapat pujian dunia.

Maka, kalau hari-hari ini Erick dag-dig-dug, tentu dapat dimaklumi. Upacara penutupan tak kalah gengsi dengan upacara pembukaan dan keseluruhan penyelenggaraan multisport event tersebut. Apalagi, penyelenggaraan Asian Games kali ini dinilai sukses.

Erick sendiri mengaku surprise, partisipasi bangsa Indonesia dalam mendukung acara Asian Games dari mulai pawai obor (torch relay), upacara pembukaan, dan saat berlangsung pertandingan, di luar ekspektasi.

Padahal, sebulan menjelang pesta olahraga tersebut, Presiden Jokowi sempat was-was, gebyar Asian Games dirasa kurang. Ternyata, animo masyarakat sangat tinggi. “Acara pembukaan juga diakui dunia,” ujar Erick.

Lalu pada saat pertandingan, Erick menyebutkan, semua negara peserta memuji kinerja panitia, mulai dari wisma atlet, makanan, operasional pertandingan, sistem transportasi, keamanan, hingga volunteers yang sangat terlatih.

Yang membanggakan pula, Indonesia berhasil meraih 30 emas, setidaknya hingga tulisan ini dibuat pada Kamis (30/8/2018) malam. Posisi Indonesia berada di peringkat keempat, setelah China, Jepang dan Korea Selatan.

Ini adalah pencapaian terbaik Indonesia dari sisi jumlah medali emas, melampaui pencapaian tahun 1962 saat Indonesia meraih 11 emas ketika pertama kali menjadi tuan rumah Asian Games di Jakarta.

***

Ukuran keberhasilan Asian Games kali ini tentu saja bukan sekadar penyelenggaraan yang profesional dan rekor perolehan medali.

Lebih dari itu, gawe olahraga Asia tersebut diyakini akan memperkuat national branding Indonesia. Yang sudah jelas, demam dan euforia Asian Games memang tampak nyata, 'virus'-nya bertebaran ke mana-mana.

Entah karena pengaruh gaya komunikasi personal yang kini lebih banyak digerakkan oleh social media, penyebaran informasi yang serba instan, sehingga setiap peristiwa terkait Asian Games juga begitu cepat menyebar, dan massive.

Gebyar ini diamplifikasi sedikitnya 5.000 awak media dari seluruh dunia, yang meliput pagelaran tersebut. Akibatnya, berkat Asian Games, Indonesia menjadi spot yang dilihat dan diucapkan di seluruh dunia selama dua pekan terakhir.

Salah satu indikatornya ini saja: Jack Ma, pemilik Alibaba, salah satu raja e-commerce  dunia yang berasal dari China, dijadwalkan menghadiri penutupan Asian Games kali ini. Entah mengapa Jack Ma menyempatkan diri datang. Yang jelas, China akan menjadi tuan rumah Asian Games berikutnya.

Bahkan, salah satu televisi China, CCTV, menyewa 1.000 m2 area Media Center, dengan 300 crew liputan selama games berlangsung.

Lalu secara ekonomi, dampaknya juga sangat terukur. Bagaimana tidak. Selama periode pelaksanaan Asian Games 18 Agustus hingga 2 September 2018 itu, setidaknya 10.000 atlet terlibat.

Belum lagi keterlibatan 2.500 OCA family dan VVIP, serta 20.000 volunteers dan pekerja selama berlangsungnya acara. Juga sekitar 5.500 technical official dan judge yang terlibat dalam mengawal 462 event olahraga itu.

Dan tak kalah penting, turis dari negara-negara peserta maupun nonpeserta yang ingin melihat perhelatan itu.

Tentu dampak ekonominya tidak bisa langsung terlihat seketika. Thailand, yang telah empat kali menjadi tuan rumah Asian Games, kini menjadi salah satu negara tujuan pariwisata terbesar di Asia Tenggara, dengan kunjungan turis asing lebih dari 30 juta setiap tahun.

Ini berkat perbaikan infrastruktur di kota-kota yang menjadi tuan rumah Asian Games di Thailand, dan efek dari national branding mereka setiap gelaran tersebut.

Yang jelas, bagi Jakarta, kini lalu lintas terasa jauh lebih lancar, berkat kebijakan nomor kendaraan ganjil genap yang diberlakukan selama Asian Games. Meski semula diprotes, kini banyak yang merasakan manfaat dan setuju-setuju saja kalau diteruskan.

Lalu jalanan Ibu Kota juga “terpaksa” menjadi lebih rapi dengan trotoar yang ciamik. Saya kok malah pengin, Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia lainnya, bisa menjadi tuan rumah Asian Games kembali, tak perlu berlama-lama lagi.

Biar pemerintah ‘dipaksa’ untuk berbenah, dan mendapatkan benefit national branding di kemudian hari.  Dan para atlet berikut "terpaksa" dan "dipaksa" untuk terus berprestasi. 

Tapi yang terlihat seketika, sekadar contoh saja, adalah tiket pertandingan favorit yang selalu ludes. Selain tiket, fenomena yang tampak berbeda dari gelaran Asian Games kali ini adalah antrean panjang Super Store, toko penjualan merchandise Asian Games. Saban pagi, saat toko itu dibuka, langsung diserbu pengunjung yang ingin memborong suvenir.

Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf bahkan bilang, perburuan merchandise Asian Games terjadi setiap hari. “Dipasok berapa banyak pun selalu ludes dalam hitungan menit,” katanya.

Artinya, pelaku bisnis kreatif, para pembuat merchandise, yang pemasoknya kebanyakan berskala UKM,  turut kecipratan rezeki.

Di luar itu, barangkali ada keberhasilan lain yang tak berwujud alias intangible, yang mungkin nggak terukur: rasa kebangsaan dan kebanggaan sebagai satu bangsa yang seakan lahir kembali. Seorang eksekutif perempuan mengaku, setiap mendengar lagi Indonesia Raya berkumandang atas perolehan medali emas atlet kita, air matanya meleleh.

Budaya antre, bahkan untuk masuk stadion dan venue pertandingan, serta penjualan merchandise, juga terbangun. Tak tampak karakter dan kebiasaan rebutan dan saling sikut, apalagi saling sodok.

Lebih dari itu, olahraga ternyata juga membantu menghilangkan sekat perbedaan politik. Semua bicara merah putih, bicara Indonesia Raya.

Bahkan, medali emas Asian Games mengantarkan Pak Prabowo dan Presiden Jokowi, yang tengah bersaing dalam pemilihan presiden tahun depan, berpelukan dalam balutan merah putih.

Pak Prabowo adalah Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Indonesia atau IPSI, yang menyumbang 14 medali emas dari total 31 medali emas yang akhirnya dikoleksi kontingen Indonesia.

Momentum pelukan kedua pemimpin itu, dalam situasi politik dewasa ini, menjadi amat bernilai, langka dan menjadi trending topic di mana-mana.

Mereka berpelukan, berkat inisiatif Hanifan Yudani, atlet pencak silat peraih medali emas, yang memeluk kedua pemimpin itu. Tanpa sekat, dan meniupkan persepsi politik yang lebih cair dan adem.

***

Maka, Erick Thohir dan segenap pengelola gelaran Asian Games kali ini patut mendapatkan apresiasi setimpal atas penyelenggaraan pesta bernilai lebih dari Rp5,5 triliun itu.

Padahal, di balik keberhasilan dan semua euforia itu, perjalanannya tidak pula mudah. Persiapan yang dimiliki Erick Thohir sangat mepet, hanya  2 tahun 3 bulan. Seperti “mission impossible”.

Erick sendiri selaku Chairman Inasgoc baru pertama kali bertemu dengan OCA (Dewan Olimpiade Asia) pada Maret 2016.  Kondisinya juga dalam titik kritis, karena OCA ‘mengancam’ untuk memindahkan tuan rumah ke China apabila komitmen dan presentasi Indonesia tidak meyakinkan.

Indonesia memang ketiban sampur “mendadak”, karena Vietnam yang semula terpilih sebagai tuan rumah Asian Games ke-18, belakangan angkat tangan.

Perdana Menteri Vietnam Nguyen Tan Dung, mengumumkan penarikan diri Hanoi dari tuan rumah pada 17 April 2014, dengan alasan ekonomi. OCA lalu menunjuk Jakarta sebagai tuan rumah, menggantikan Vietnam, pada 25 Juli 2014, tepat di penghujung akhir pemerintahan Presiden SBY. Palembang ditunjuk sebagai tuan rumah pendukung.

OCA memilih Jakarta karena fasilitas olahraga yang lengkap, jaringan transportasi memadai, termasuk akomodasi hotel dan penginapan untuk para tamu.

Padahal, banyak infrastruktur Indonesia yang sebenarnya belum siap. Kota Jakarta sedang berbenah, membangun jaringan kereta ringan (LRT) dan kereta massal (MRT) pada saat bersamaan. Semua itu membuat dag-dig-dug banyak orang.

Maka, saat Asian Games dimulai, isu transportasi di Jakarta menjadi prioritas yang terus dipantau. Sesuai host city contract, atlet harus sampai ke tempat latihan dan pertandingan dalam waktu maksimal 34 menit.

Namun, semua kesulitan tampaknya berhasil dilalui satu demi satu. Peran Wakil Presiden Jusuf Kalla, selaku Dewan Pengarah kepanitiaan nasional, serta kepemimpinan Chief de Mission Indonesia, Pak Syafruddin, yang kala itu menjabat wakapolri juga berhasil menyiapkan para atlet untuk tampil lebih prima. 

Juga peran Menpora Imam Nachrowi, yang menjanjikan bonus memadai untuk para atlet sehingga lebih termotivasi.

Dan tak kalah penting, tangan dingin Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, yang memungkinkan perbaikan dan revitalisasi semua venue selesai tepat pada waktunya. Nyaris semua venue Asian Games di Jakarta dan Palembang berkelas dunia, sehingga menjadi arena yang nyaman bagi para atlet untuk bertanding. 

Sebenarnya masih banyak nama lainnya lagi yang patut diapresiasi, termasuk Gubernur DKI Anies Baswedan, penjaga baru Jakarta, yang berupaya Ibu Kota menjadi tuan rumah yang ramah. Ada pula  Gubernur Sumatera Selatan Alex Nurdin yang getol mempersiapkan Palembang sebagai tuan rumah pendamping, serta Menko Puan Maharani yang menjadi pengarah Panitia Nasional.

Buat saya, selain apresiasi yang tinggi untuk perjuangan para atlet peraih medali emas dan medali lainnya, para tokoh ini pun adalah peraih medali emas di luar panggung, bagi keberhasilan penyelenggaraan Asian Games ke-18 kali ini. Prestasi  ini adalah berkat dari concerted effort, upaya bersama bahu membahu untuk menggapai sukses.

Maka, hari-hari mendatang, kita tinggal akan mengenang, dan sejarahlah yang akan mencatatnya. 

Tentu, banyak juga catatan di sisi yang lain, yang perlu pembenahan dalam pembinaan olahraga Indonesia untuk Asian Games berikutnya. Terutama untuk cabang olahraga olimpik yang masih belum optimal dalam meraih medali.

Tetapi hari ini, kita berikan dulu kesempatan untuk selebrasi keberhasilan atlet-atlet Indonesia, dan penyelenggaraan Asian Games yang diakui dunia. Faktanya, ternyata kita bisa. Ini berkat modal manusia yang kita miliki, anak bangsa yang brilian, jenius dan kreatif. Terlalu rendah diri kalau kita menyepelekan potensi modal manusia Indonesia.

Boleh setuju atau tidak, saya pinjamkan kata-kata motivasional dari Wishnutama, kreator opening ceremony spektakuler dengan ‘motor Presiden Jokowi’. “Tak ada orang yang tak bisa, kecuali orang yang menyerah.” Begitu kira-kira inspirasi Wishnutama, bila memotivasi timnya.

Entah kenapa, tiba-tiba saja saya juga ingin pinjam yel-yel presenter sepak bola Valentino ‘Jebret’ Simanjutak yang kini naik daun. “Siapa Kita? Indonesia…”

Nah, bagaimana menurut Anda? (*)

  •  Tulisan ini telah dimuat di Bisnis Indonesia edisi 31 Agustus 2018 halaman1 dengan judul asli "Asian Games 2018: Siapa Kita? Indonesia". Telah dilakukan update di beberapa bagian.
     

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Arif Budisusilo
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper