Bisnis.com, JAKARTA -- Kementerian Perhubungan menyatakan tidak dapat 'mengusir' kapal ikan buatan luar negeri alias eks-asing yang tidak segera meninggalkan perairan Indonesia kendati sudah dideregistrasi.
Menurut Direktur Perkapalan dan Kepelautan Kemenhub Dwi Budi Sutrisno, tidak ada regulasi di dunia yang mengharuskan kapal yang sudah dihapus dari daftar kapal negara bendera harus keluar dari perairan negara itu.
"Misal kita punya kapal, sandar di dermaga negara lain, sepanjang bisa bayar biaya dermaga, kan enggak masalah. Yang penting kan dia tidak beroperasi, tidak menangkap ikan," katanya, Rabu (29/8//2018).
Kecuali, lanjut dia, pengelola pelabuhan karena pertimbangan tertentu membuat kebijakan bahwa dermaganya tidak digunakan lagi untuk sandar kapal ikan.
"KKP bisa koordinasi dengan pengelola pelabuhan supaya dermaganya tidak dipakai untuk sandar kapal eks asing," lanjutnya.
Sebelumnya, Satgas Pemberantasan Penangkapan Ikan secara Ilegal (Satgas 115) menuntut peran Kemenhub untuk ikut mengeluarkan kapal-kapal ikan eks-asing yang sudah dideregistrasi dari wilayah pengelolaan perikanan (WPP) RI.
Menurut catatan Satgas 115, setidaknya 55 kapal ikan eks-asing yang sudah dideregistrasi namun tak kunjung beranjak dari perairan Indonesia.
"Kalau deregistrasi itu harus keluar karena sudah bukan lagi bendera Indonesia, sudah bukan lagi kapal Indonesia. [Untuk mendorong mereka agar keluar], kami harus kerja sama dengan Kementerian Perhubungan. Kan itu kewenangan Kementerian Perhubungan," kata Koordinator Staf Khusus Satgas 115 Mas Achmad Santosa seperti ditulis Bisnis (28/8/2018).
Keinginan untuk mendesak kapal eks-asing keluar dari perairan Indonesia kembali muncul ke permukaan bertepatan dengan rencana perhelatan IMF-World Bank Annual Meeting 2018 di Bali pada Oktober.
Panitia pertemuan tahunan itu sedang memikirkan penataan kapal-kapal eks-asing yang menumpuk di Pelabuhan Benoa. Kemenko Maritim mendata, terdapat 222 kapal eks-asing, termasuk kapal ikan, yang memadati Benoa.
Satgas 115 pada 2016 melakukan analisis dan evaluasi (anev) terhadap 1.132 dari 1.605 unit kapal ikan nasional buatan luar negeri.
Kapal-kapal itu diduga melakukan berbagai macam pelanggaran, seperti memalsukan dokumen kepemilikan kapal, berbendera ganda dan teregistrasi ganda, mempekerjakan nakhoda dan ABK asing, tidak mengaktifkan VMS selama menangkap ikan, dan tidak mendaratkan ikan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan dalam izin.
Hasil anev menetapkan 253 kapal yang melakukan pelanggaran berat harus mengikuti proses penegakan hukum di pengadilan perikanan, 836 kapal yang melakukan pelanggaran ringan harus dideregistrasi untuk selanjutnya keluar dari Indonesia atau ditutuh (scrap), dan 43 kapal merupakan armada angkut asing yang diminta keluar dari Indonesia.
Menurut pemantauan Satgas, kapal-kapal yang sudah dideregistrasi belum keluar dari Indonesia karena menunggu kedatangan anak buah kapal (ABK) yang akan membawa kapal. Sebagian lainnya sedang dalam penyelesaian kewajiban-kewajiban, seperti pembayaran biaya tambat labuh di pelabuhan.