Bisnis.com, JAKARTA – Bisnis kepelabuhanan nasional selalu menyajikan dinamika yang menarik dikomentari. Diberitakan media beberapa waktu lalu bahwa PN Jakarta Utara memutus gugatan perdata PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terhadap PT Karya Citra Nusantara (KCN) atas konsesi 70 tahun yang dilakukan KCN.
Hal ini menarik dikomentari karena para pihak sebenarnya ‘bersaudara’. KCN merupakan ‘anak’ hasil patungan antara KBN dan PT Karya Teknik Utama (KTU).
Dengan putusan PN tersebut semua investasi yang disudah dikeluarkan oleh KCN – dalam pengembangan Pelabuhan Marunda – dianggap ‘angin lalu’. Lebih jauh, KCN diwajibkan membayar denda senilai Rp779 miliar sebagai ganti rugi kepada ‘ibunya’. Putusan ini merupakan yang pertama dalam sejarah penerapan konsesi di Indonesia.
Sejak dikenalkan dalam khazanah bisnis pelabuhan nasional melalui UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, konsesi memang sering memicu kontroversi.
Kendati sudah menjadi hukum positif sejak sepuluh tahun lalu, tetapi konsesi baru dipraktikan beberapa tahun belakangan. Kala itu, seluruh PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) diminta oleh Kementerian Perhubungan untuk menandatangani konsesi dengan mereka atas seluruh infrastruktur pelabuhan (tanah dan perairan) yang dikelola oleh BUMN tersebut. Kebijakan ini menjadi kontroversi karena Pelindo, mengacu kepada Pasal 344 Ayat 3, UU No 17/2008, beranggapan tidak perlu melakukan konsesi dengan Kemenhub.
Pasal 344 Ayat 3 berbunyi: Kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dimaksud.
Sempat beberapa saat menjadi isu hangat dalam komunitas kepelabuhanan nasional, beda pendapat antara kedua kubu berakhir dengan kesediaan Pelindo menandatangani perjanjian konsesi dengan Kemenhub. Namun gugat-menggugat yang terjadi antara KBN dan KCN tentu saja tidak sama dengan apa yang pernah berlaku antara Pelindo dan Kemenhub. Pertama, jika pada Pelindo dan Kemenhub, yang berseteru adalah operator dan regulator yang pada derajat tertentu dapat disebut representasi negara dalam wujud yang berbeda.
Sementara itu, dalam kasus KBN versus KCN yang bermasalah adalah satu entitas bisnis dengan entitas bisnis lainnya. Tidak hanya sampai di situ, KBN juga mengugat Kemenhub dalam kasusnya dengan KCN. Dengan demikian inilah kali pertama regulator digugat kebijakannya terkait penerapan konsesi pelabuhan.
Kedua, dalam perbedaan pandangan antara Pelindo dan Kemenhub, Pelindo dianggap sudah menggeluti bisnis pelabuhan sejak awal berdiri yang eksistensinya diakui oleh UU Pelayaran. Di sisi lain, dengan kondisi fisik yang mirip dengan Pelindo (memiliki daratan/tanah dan perairan) KBN ternyata tidak menggeluti bisnis pelabuhan sepanjang eksistensinya.
Bisa jadi kondisi inilah yang menyebabkan BUMN ini tidak mengurusi konsesi jauh hari sebelumnya, paling tidak ketika UU Pelayaran disahkan. Konsesi baru diurus oleh usaha patungan antara KBN dan KTU. Nah, begitu konsesi diperoleh KBN malah menggugat perusahaan yang mendapatkannya.
Kepastian Hukum
Gugat-menggugat dalam dunia usaha sejatinya merupakan hal yang wajar. Dan, apa yang terjadi antara KBN dan KCN sebetulnya hal yang biasa saja. Yang tidak biasa itu adalah apa yang dilakukan KBN dapat digolongkan tindakan tidak etis. Mengapa tidak etis? Seperti diungkap di muka, KCN adalah usaha patungan antara KBN dan KTU yang didirikan pada 2005. Setahun sebelumnya KTU telah ditetapkan sebagai pemenang tender yang diadakan oleh KBN dalam upayanya mencari mitra pendamping bisnis pelabuhan.
Gugatan yang diajukan oleh KBN terhadap KCN dengan sendirinya meniadakan atau menihilkan kesepakatan yang dibuat pada 2004. Bukankah ini tidak etis? Meninggalkan mitra yang telah berbuat banyak untuk mewujudkan niat KBN menggeluti bisnis pelabuhan?
Sekadar catatan, sesuai perjanjian kerja sama pada 2005 di atas, saham KTU dalam KCN adalah 85% sementara KBN 15% ditambah goodwill berupa garis pantai sepanjang 1.700 meter dari Cakung Drain hingga Sungai Blencong. Dan, KTU sudah menyetor dana senilai Rp400 miliar seperti yang diminta dalam perjanjian kerja sama.
Dengan komposisi itu, KTU berkewajiban sebagai sumber dana dan pembangunan dermaga 3 pier sepanjang 5.350 meter ditambah supporting area seluas 100 hektar. Proyek ini sudah dan tengah dijalankan. Untuk KBN, perusahaan pelat merah ini berkewajiban mengurus perizinan dan menyediakan fasilitas, termasuk akses jalan menuju pelabuhan PT KCN.
Sengketa antara KBN dan KCN bukan kali pertama terjadi pada tahun ini. Terhitung, sengketa itu berbarengan sewaktu terjadi pergantian direksi pada tubuh KBN.
Rentetan kejadian seperti penutupan akses jalan oleh KBN, hingga laporan-laporan hukum kepada direksi KCN, seolah merintangi jalan kemitraan antara swasta dan pemerintah dalam membangun infrastruktur.
Pada 2014, akhirnya KTU mengalah dan bersedia melakukan perubahan perjanjian kerja sama dengan KBN, tentu dengan maksud mengurangi tekanan di lapangan. Perubahan yang termuat dalam Addendum III menetapkan kepemilikan saham KBN dan KTU dalam KCN masing-masing 50%.
Padahal, pada waktu itu pihak KTU telah merampungkan hampir seluruh dermaga Pier I, dan Pier II sebanyak 50%. Alhasil, KBN juga mencaplok kepemilikan Pier II sebesar 50%, dan Pier III sepenuhnya.
Yang jadi soal, untuk kepemilikan saham mayoritas dan penguasaan Pier II dan Pier III, KBN harus melengkapi syarat penambahan modal terlebih dahulu. Hingga tenggat waktu yaitu 15 bulan pasca teken Addendum III, KBN tidak sanggup memenuhi syarat setoran modal tambahan dengan alasan tidak disetujui pemilik saham, Menteri BUMN dan Gubernur DKI Jakarta.
Pada akhirnya, di tengah kondisi pemerintah membutuhkan banyak bantuan swasta guna mensukseskan pembangunan proyek infrastruktur nasional, kejadian KBN versus KCN justru jadi preseden buruk. Investasi pembangunan dermaga yang telah dibesut sejak 2012, tentu menyedot dana triliunan.
Belum lagi menghitung kerugian potensial, seperti setoran perusahaan ke negara tiap tahun yang berjumlah puluhan miliar. Alangkah baiknya, sengketa tersebut tidak merugikan swasta. Caranya? Presiden Joko Widodo harus turun langsung, karena dalam perkembangan terkini, persoalan ternyata tak selesai di tingkat kementerian, dalam hal ini Perhubungan dan BUMN.
*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesia edisi Jumat (24/8/2018)