Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Naiknya Harga Minyak Diproyeksi Kerek Tiket Pesawat dan Hotel Tahun Depan

Penguatan ekonomi global dan kenaikan harga minyak dunia diperkirakan mengerek biaya perjalanan udara tahun depan.
Sejumlah pesawat diparkir di landasan pacu saat penutupan Bandara Internasional Ngurah Rai, di Badung, Bali, Rabu (29/11)./ANTARA-Wira Suryantala
Sejumlah pesawat diparkir di landasan pacu saat penutupan Bandara Internasional Ngurah Rai, di Badung, Bali, Rabu (29/11)./ANTARA-Wira Suryantala

Bisnis.com, JAKARTA -- Penguatan ekonomi global dan kenaikan harga minyak dunia diperkirakan mengerek biaya perjalanan udara tahun depan.

Laporan dari Carlson Wagonlit Travel (CWT) dan Global Business Travel Association (GBTA) yang dirilis Selasa (24/7/2018) memperkirakan kedua faktor tersebut akan mendorong kenaikan tarif pesawat sebesar 2,6% dan tarif hotel sekitar 3,7%.

"Untuk kawasan Asia Pasifik, kita sudah mengakhiri periode ketika ada kapasitas sistem yang besar dan tarif turun sangat signifikan, lebih rendah dari yang seharusnya dan tidak berkelanjutan. Jadi, saya rasa kita sudah mulai memasuki masa renormalisasi tarif yang lebih berkelanjutan," papar Michael Valkevich, Vice President CWT for Global Sales and Program Management, Asia Pacific, seperti dilansir Reuters.

Sementara itu, di beberapa negara seperti India, Selandia Baru, Norwegia, Jerman, dan Chile, tarif pesawat diproyeksi tumbuh lebih dari 7%.

Biaya pesawat, termasuk untuk bahan bakar dan upah pekerja, sudah menunjukkan kenaikan. Hal ini mendorong maskapai untuk mengerek tarif demi menjaga margin.

Laporan CWT/GBTA 2019 juga menyampaikan adanya pertumbuhan tarif hotel yang kemungkinan disebabkan oleh naiknya permintaan perjalanan udara, yang memicu bertambahnya permintaan terhadap kamar hotel.

Tarif hotel diperkirakan meningkat lebih dari 5% di Asia dan Eropa serta naik 2,1% di kawasan Amerika Utara. Namun, tarif di negara-negara Amerika Latin justru diprediksi turun 1,3%.

Tetapi, outlook positif ini tetap dibayangi risiko perekonomian global pada tahun depan. Beberapa risiko yang dihadapi adalah kebijakan proteksionisme yang makin banyak digaungkan, ancaman berlanjutnya perang dagang, dan ketidakpastian Brexit di zona Eropa.

Valkevich menyatakan perang dagang AS-China belum berdampak signifikan terhadap penurunan permintaan di subsektor perjalanan bisnis. Namun, kondisi ini tetap menajdi risiko yang membebani industri perjalanan korporasi.

Berdasarkan catatan Bisnis, harga minyak masih berada di kisaran US$68-US$73 per barel.

Harga minyak mentah AS merosot di bawah level US$68 per barel pada awal perdagangan Selasa (24/7), di tengah penguatan dolar AS dan kekhawatiran meningkatnya stok di Oklahoma menunjukkan bottleneck jaringan pipa.

Minyak mentah West Texas Intermediate untuk pengiriman September melemah 0,04% ke level US$67,86 per barel pada pukul 06.32 WIB, setelah pada perdagangan Senin (23/7) ditutup melemah 0,5% atau 0,37 poin ke posisi US$67,89 per barel di New York Mercantile Exchange.

Sementara itu, minyak Brent untuk penyelesaian September turun 0,01 poin atau 0,01% ke level US$73,06 per barel di bursa ICE Futures Europe yang berbasis di London. Minyak mentah patokan global diperdagangkan dengan premi US$5,17 terhadap WTI.

Di sisi lain, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi global pada 2018 dan 2019 berada di level 3,9%.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Annisa Margrit
Editor : Annisa Margrit
Sumber : Reuters
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper