Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia belum mampu memaksimalkan peluang dari perjanjian kerja sama perdagangan internasional, kendati pemerintah telah memprioritaskannya untuk menopang kinerja ekspor guna menangkal dampak berbagai gejolak global.
Dari 29 konsep negosiasi kerja sama perdagangan internasional yang dicanangkan oleh Indonesia, baru 5 yang telah terealisasi dan tengah ditinjau ulang untuk perbaikan.
Kelima kerja sama itu a.l. Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA), Indonesia-Pakistan Preferential Trade Agreement (PTA), Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), Asean-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA), dan Asean-India Free Trade Area (AIFTA).
Menurut Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W. Kamdani, pemerintah dan pengusaha masih terus mengevaluasi beberapa kerja sama perdagangan yang dinilai ‘berat sebelah’.
“Memang belum signifikan [dampaknya kerja sama perdagangan internasional terhadap kinerja ekspor RI], karena banyak pakta dagang yang masih dalam proses negosiasi terutama yang berbentu Comprehensive Economic Partnership Agreement [CEPA],” katanya akhir pekan lalu.
Kadin dan pemerintah, lanjutnya, tengah mengebut agar beberapa negosiasi perdagangan strategis dapat selesai tahun ini. Negosiasi prioritas itu a.l. Indonesia-Australia CEPA, Indonesia-EFTA CEPA, dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
Terkait dengan negosiasi IEU-CEPA dengan Uni Eropa, Shinta mengaku salah satu fokus permintaan Indonesia kepada Benua Biru yang saat ini sedang dibahas di perundingan putaran ke-5 di Brussels adalah penghapusan tarif produk tekstil dan produk tekstil (TPT) serta alas kaki Indonesia.
Selain itu, sebutnya, Indonesia telah menyampaikan rekomendasi klarifikasi isu kelapa sawit terkait dengan resolusi terbaru Parlemen Uni Eropa yang hendak mengapuskan penggunaan biodiesel berbasis sawit pada 2030.
Sementara itu, untuk IA-CEPA, proses perundingan diklaim hampir selesai dan tinggal proses penyelesaian rancangan di tingkat kementerian terkait masing-masing negara. Pakta antara RI dan Australia itu ditenggat selesai tahun ini.
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan Indonesia akan memanfaatkan peluang sekaligus menciptakan proteksi yang kuat akibat perang dagang Amerika Serikat-China melalui kerja sama RCEP.
“Kami ingin memanfaatkan celah kebutuhan produk impor China yang selama ini dikirim oleh AS melalui RCEP. Sebaliknya, melalui RCEP juga, kami harus antisipasi agar China tidak mengalihkan kelebihan produk ekspornya ke Indonesia, terutama produk yang tidak kita butuhkan,” tegasnya.
Di sisi lain, Direktur Kerja Sama APEC dan Organisasi Kemendag Deny W. Kurnia mengklaim sejauh ini pakta kerja sama dagang yang sudah dijalin terbukti mampu mendorong aktivitas ekspor Indonesia.
“Hal itu tercermin dari surplus neraca perdagangan nonmigas sepanjang tahun ini. Peninjauan ulang memang dibutuhkan, jika terbukti memberikan kerugian yang besar. Seperti permintaan kami untuk evaluasi ACFTA dengan China, dimana RI lebih banyak defisitnya atau kurangnya aksesibilitas produk RI dalam IJEPA.”
Deny berkata RI akan memperjuangkan renegosiasi jika kerja sama yang sudah diratifikasi tidak memenuhi sisi keadilan bagi masing-masing negara. Di sati sisi, Kemendag tengah mengupayakan ratifikasi kerja sama bilateral sebagai ujung tombang untuk membuka pasar ekspor yang lebih luas.
Sebab, ujarnya, pakta kerja sama bilateral dianggap lebih efektif lantaran tingkat kemudahan pengelolaan, negosiasi, dan penghitungan dampaknya.
MASALAH NONTARIF
Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal berpendapat belum efektifnya dampak dari kerja sama perdagangan internasional dipicu oleh banyaknya masalah nontarif yang tak terselesaikan dalam proses negosiasi.
Akibatnya, banyak produk Indonesia tetap tidak mampu menembus pasar negara mitra sekalipun telah tercapai kesepakatan kerja sama. “Rata-rata utilisasi dari pemanfaatan kerja sama dagang tersebut baru sekitar 30%,” sebutnya.
Permasalahan nontarif yang dimaksud mencakup tingginya standar produk yang ditetapkan secara sengaja maupun tidak, sehingga membuat banyak produk yang disepakati dalam pakta kerja sama tetap tidak dapat menembus pasar negara mitra.
Selain itu, ada juga standar seperti keharusan membuat produk yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan, seperti untuk produk turunan minyak sawit. Hal itu terkadang ditetapkan negara mitra untuk melindungi produk dalam negerinya.
Bahkan, Fihtra mengatakan, ada juga permasalah dalam cita rasa dari produk Indonesia, yakni negra mitra menolak produk makanan dan minuman (mamin) hanya karena rasa tidak sesuai dengan lidah masyarakatnya.
"Permasalahan nontarif memang abstrak, tapi memang, untuk permasalahan utilisasi perdagangan lebih luas, hal tersebut juga harus dibicarakan pada saat proses negosiasi," katanya.
Di sisi lain, para penguasaha menilai kerja sama dagang internasional telah dapat efektif menopang neraca dagang, dan berharap pemerintah dapat lebih mempercepat kerjasama dagang lainnya.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani mengaku para pengusaha merasa cukup terbantu dengan kerja sama dagang sejauh ini, karena mendapat penuruan tarif bea masuk untuk beberapa komoditas.
"Kerja sama dagang sangat efektif, karena dia memberikan tarif yang lebih murah dan bahkan kita yang masih ketinggalan dari negera-negara telah membuat kerja sama dagang lebih dahulu, seperti Vietnam dan Thailand," katanya.
Namun, Hariyadi tetap berharap pemerintah dapat memperjuangkan kerja sama yang saling menguntungkan dalam negosiasi, terutama untuk Eropa dan Australia karena keduanya merupakan negara konsumtif tetapi masih memilki standar kualitas produk yang cukup rumit.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) Aziz Pane juga mengaku cukup terbantu banyak dengan adanya perjanjian dagang yang diushakan pemerintah. Hanya saja, pangsa pasar dari mitra dagang yang ada telah dijajah terlebih dulu oleh perusahaan ban multinasional yang ada di Indonesia.
"Perjanjian daganag itu efektif, cuma kalau ada sudah ada perjanjian internasional, mereka [perusahaan ban multinasional] baisanya itu yang sudah ada," katanya.
Aziz mengeluhkan kekurangan pemerintah dalam penyediaan kapal untuk pengiriman ban dari Indonesia. "Kalau sudah ekspor permalasalahan kita di pengiriman, ban kita mahal karena biaya pengiriman, tidak ada perusahaan perkapalan Indonesia yang mau kirim ban saja.”
Senada dengan pelaku usaha lainnya, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan industri TPT juga cukup menikmati banyak manfaat dari kerja sama dagang yang dilakukan pemerintah.
"Contohnya, kerja sama dengan Jepang yang mulai berlaku sejak 2010 tersebut telah meningkatkan ekspor TPT kita ke Jepang mendekati 200%," katanya.
Selanjutnya, Ade berharap pemerintah dapat menyelesaikan negosiasi kerja sama yang dagang dengan Eropa dan dan Australia, yang saat ini prosesnya masih berjalan. "Mereka itu konsumen, mereka butuh produk kualitas tinggi dan harga murah, dan kita bisa, kalau berhasil, tektil kita makin meningkat.”
Berbeda dengan yang lain, Wakil Ketua Umum III Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang mengatakan industri kelapa sawit belum dapat menikmati manfaat dari kerja sama dagang yang telah dibuat selama ini.
"[Negara-negara yang sudah menandatangani pakta kerja sama dagang dengan RI] Semua bukan tujuan utama pasar CPO, lagipula di Asean sudah ada malaysia sebagai kompetitor utama," katanya.
Adapun, untuk beberpa kerja sama dagang yang sedang berjalan, dia juga pesimistis hal tersebut dapat meningkatkan ekspor minyak sawit dan produk turunannya. "Australia, pasarnya tidak begitu besar dan seperti Eropa, penuh dengan kampanye negatif sawit.”
Pemetaan Negosiasi Perdagangan Indonesia*
Negosiasi yang Sedang Berjalan:
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Format Mulai Negosiasi Status Target Finalisasi
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
RI-Australia CEPA 2012 Putaran ke-11 Agustus 2018
I-EU CEPA 2016 Putaran ke-4 Semester I/2019
RI-Iran PTA 2010 Putaran ke-5 2018
RI-Turki CEPA 2018 Putaran ke-1 2019
RCEP 2013 Putaran ke-21 2018
--------------------------------------------------------------------------------------------------------
Realisasi yang Sedang Ditinjau untuk Perbaikan
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Format Negosiasi Implementasi Status Target
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
RI-Japan EPA 2005—2007 2008 Putaran ke-7 JCM 2018
RI-Pakistan PTA 2006—2012 2013 Pembahasan TIGA 2018
AEC (MEA) - - Sedang ditinjau 2025
AANZFTA - - Sedang ditinjau 2019
AIFTA - - Sedang ditinjau 2019
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Negosiasi yang Sedang Finalisasi/Proses Ratifikasi
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Format Mulai Negosiasi Status
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
RI-Chile CEPA 2014—2017 Perjanjian trade in goods diteken 14 Desember 2017
MoU RI-Palestina - Sudah diteken 12 Desember 2017
Asean-Hong Kong - Sudah diteken 12 November 2017
ACIA - Sudah 20 Desember 2017
Asean-Japan - Finalisasi 2017, diteken Agustus/September 2018
RI-Pakistan PTA 2016—2017 Ratifikasi protokol, review diteken 27 Januari 2018
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Negosiasi yang Baru Diinisiasi
-------------------------------------------------------------------
Format Progres
-------------------------------------------------------------------
RI-Bangladesh PTA Baru mulai negosiasi 2018
RI-Mozambik PTA Baru mulai negosiasi April 2018
RI-Tunisia PTA Baru mulai negosiasi Juni 2018
Indonesia-Maroko Pertemuan awal Juni 2018
-------------------------------------------------------------------
Rencana Negosiasi Baru
-------------------------------------------------------------------------------
Format Status Saat Ini
-------------------------------------------------------------------------------
RI-Sri Lanka Studi potensi (feasibility) FTA pada 2018
RI-GCC Pengajuan studi potensi
RI-Nigeria PTA Kerja sama sudah diajukan sejak 2017
RI-Kenya PTA Kerja sama sudah diajukan sejak 2017
RI-SACU PTA Diajukan 2017, fokus ke Afrika Selatan
RI-EAEU JSG sudah diajukan sejak 2017
RI-Taiwan ECA Peninjauan ulang potensi sejak 2017
RI-Peru Studi bersama (joint study) sudah finalisasi
Asean-Canada FTA Studi potensi sedang berjalan
-------------------------------------------------------------------------------
*) Pemetaan ini berdasarkan informasi terbaru Kementerian Perdagangan per Mei 2018
Sumber: Kementerian Perdagangan, diolah