Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia harus mengebut upaya pemenuhan tenaga kerja ahli (skilled labor) guna mengantisipasi prediksi kekurangan pasokan pada 2030, yang bisa berujung pada pembengkakan biaya upah yang harus dikeluarkan perusahaan.
Wakil Ketua Komite Tetap Pelatihan Ketenagakerjaan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Miftahudin menjelaskan, tantangan utama industri di masa depan adalah kemampuan pengusaha mengidentifikasi perubahan zaman yang akan memengaruhi kebutuhan tenaga kerja.
“Inilah kenapa sekarang kami sangat mendorong adanya percepatan pengembangan sumber daya manusia [SDM], bukan sekadar pengembangan SDM,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (28/6/2018).
Belum lama ini, Korn Ferry memprediksi Indonesia akan kekuarangan tenaga kerja ahli sejumlah 3,8 juta orang pada 2030.
Studi organisasi konsultasi asal Amerika Serikat itu memaparkan, dari kebutuhan tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan minimal sarjana sebanyak 16,5 juta orang pada 2030, jumlah yang mampu dipenuhi diperkirakan hanya mencapai 12,7 juta orang.
Akibatnya, perusahaan-perusahaan di Tanah Air diproyeksi harus menyiapkan biaya tambahan hingga lebih dari US$1 triliun untuk membayar gaji tenaga kerja ahli setiap tahunnya pada 2030.
Miftahudin menjabarkan, berdasarkan kalkulasi yang disepakati antara Kementerian Ketenagakerjaan dengan pelaku usaha, setiap tahunnya kebutuhan Indonesia terhadap tenaga kerja ahli rata-rata mencapai 3 juta orang. Namun, dari jumlah tersebut, hanya sekitar 20%—30% yang mampu dipenuhi.
Untuk itu, dia berpendapat upaya percepatan pengembangan SDM memerlukan kolaborasi dari seluruh pemangku kepentingan, mulai dari tingkat pemerintah pusat, pemerintah daerah, hingga para pelaku industri.
Sebagai contoh, lanjutnya, sejak 2016 Kadin telah melakukan pelatihan vokasi yang melibatkan pelaku industri sebagai instruktur dan meluluskan hingga 3.000 peserta pada 2017 di bidang manufaktur, perhotelan, maritim, dan ritel.
Kadin berniat menambah jumlah perusahaan yang terlibat dalam program tersebut setiap tahunnya, dan melakukan perubahan kurikulum sesuai dengan perkembangan zaman.
“Jangan diharapkan program [pendidikan vokasi] 2017 akan sama dengan 2019 untuk perusahaan yang sama. Pasti akan update,” tegasnya.