Bisnis.com, JAKARTA — Upaya pemerintah yang mempromosikan adanya standardisasi upah minimum regional pekerja di kawasan Asean dinilai perlu dilengkapi dengan kajian yang berimbang dan mendalam agar tak merugikan pekerja.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyatakan, kajian yang mendalam dan transparan diperlukan dalam membuat kebijakan agar tidak berat sebelah.
Dia menilai pemerintah jangan hanya memfasilitasi kepentingan pengusaha, tetapi juga kepentingan para pekerja. "Semuanya harus berdasarkan data dan kajian yang mendalam, jangan hanya asumsi," ujarnya, Minggu (24/6/2018).
Dia pun mempertanyakan dasar pertimbangan pemerintah yang menyebutkan standardisasi itu dibutuhkan karena upah pekerja di Indonesia lebih tinggi dari pada di Vietnam. Hal itu membuat investor dari luar Asia Tenggara lebih nyaman berinvestasi di Vietnam.
Berdasarkan data KSPI, upah rata-rata buruh Vietnam adalah US$181 per bulan, sedangkan buruh Indonesia hanya mendapatkan rerata upah US$ 171 per bulan.
Menurutnya, dengan upah sebesar US$181 per bulan, para buruh asal Vietnam dapat membeli beras dengan harga yang telah dirupiahkan sekitar Rp4.600 per kilogram. Sementara itu, buruh asal Indonesia dengan upah sekitar US$171 per bulan, dipaksa membeli beras sebesar Rp10.000—Rp12.000 per kilogram.
Dia menambahkan, upaya standardisasi upah minimum regional pekerja di kawasan Asean perlu mempertimbangkan tingkat inflasi yang berbeda-beda di setiap negara. Pasalnya, tingkat inflasi turut mempengaruhi harga bahan pokok dan daya beli setiap pekerja.
Di lain sisi, Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Soes Hindarno menyatakan, Kemenaker tengah berupaya membuat mekanisme upah minimal untuk diterapkan bagi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri.
Menurutnya, hal tersebut akan diatur dalam amandemen nota kesepahaman ketenagakerjaan dengan berbagai negara terkait, seperti Malaysia dan Hong Kong.
Dia mengaku tengah melakukan negosiasi isi nota kesepahaman yang akan menjadi acuan kerja sama ketenagakerjaan dengan setiap negara penerima TKI (receiving country). Nantinya, dia menyebut besaran upah minimal bagi TKI akan berbeda-beda di setiap negara, menyesuaikan dengan biaya hidup di negara tersebut.
“Nanti kita akan punya template satu MoU [Memorandum of Understanding] yang berlaku untuk setiap negara. Kalau [penentuan] gaji diserahkan ke pasar saja, misalnya untuk di Timur Tengah tidak kurang dari US$450, nanti di HongKong, atau Malaysia akan berbeda lagi,” jelasnya.
Dia menambahkan, upaya amandemen nota kesepahaman dengan negara penerima TKI memerlukan proses yang cukup panjang dan negosiasi yang a lot. Dia menyebut, amandemen dengan Malaysia masih belum menemukan titik temu meski perundingan terus dilakukan selama dua tahun terakhir.