Bisnis.com, JAKARTA — Penyusunan peta jalan tata kelola migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri dinilai lebih mendesak untuk dilakukan ketimbang melakukan uji coba penempatan tenaga kerja Indonesia ke Arab Saudi.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mempertanyakan rencana pemerintah untuk menempatkan 30.000 pekerja migran Indonesia (PMI) ke tiga negara di Timur Tengah, yaitu; Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar di tengah moratorium pengiriman PMI yang masih berlaku.
“Seharusnya pemerintah mendahulukan agenda pembaruan tata kelola penempatan buruh migran sesuai dengan UU No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang berorientasi pelayanan pubik, berbiaya murah, dan berorientasi perlindungan,” ujarnya, Rabu (20/6/2018).
Dia menyatakan, tata kelola tersebut mencakup penyusunan nota kesepahaman penempatan dan perlindungan PMI dengan negara tujuan serta mempersiapkan infrastruktur pemerintah lokal.
Selain itu, pemerintah harus mengubah tata kelola penempatan yang selama ini bertumpu pada Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) menjadi penempatan yang mengedepankan pelayanan publik dan langkah proaktif calon.
Tak kalah penting, dia menyebut perlu ada peningkatan jaminan sosial dan upaya perlindungan hukum bagi pekerja migran. Hal itu penting mengingat banyak negara Timur Tengah yang masih memberlakukan hukuman pancung bagi PMI yang terjerat kasus hukum.
Berdasarkan catatan Migrant Care, kasus eksekusi mati terhadap buruh migran asal Indonesia telah dilakukan sebanyak lima kali sejak 2008. Kasus terakhir menimpa Zaini, buruh migran asal Bangkalan, Madura yang dieksekusi pada 18 Maret 2018.
Saat ini, terdapat lebih dari 1,3 juta buruh migran Indonesia di Arab Saudi. Dari jumlah tersebut, masih terdapat sebanyak 21 kasus buruh migran lainnya yang terancam hukuman mati.
Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan TKI Maruli Hasoloan menegaskan, penempatan pekerja migran ke Timur Tengah akan menggunakan mekanisme baru dengan tingkat pengawasan pemerintah yang lebih tinggi.
“Dulu kan TKI langsung ditempatkan di pengguna, sekarang ini mulai mekanisme yang lebih baik di mana pemerintah lebih mengontrol melalui agen-agen,” jelasnya.
Meski demikian, pihaknya mengelak bila penempatan ini akan mengakhiri moratorium pengiriman TKI ke Arab Saudi. Menurutnya, penempatan dengan mekanisme baru tersebut akan dilakukan tanpa harus mencabut Surat Keputusan Menteri Ketenagakerjaan (Kepmen) No.260/2015 tentang Penghentian Pengiriman TKI/PRT ke-19 negara di Timur Tengah.
Menurutnya, kebijakan moratorium diperlukan hingga ada perbaikan regulasi dan tata kelola dari negara Timur Tengah, maupun perbaikan aspek perlindungan hukum dan tata kelola dari pemerintah Indonesia.
Dia pun memastikan perbaikan tata kelola dari dua negara telah dilakukan, sehingga saat ini pemerintah melakukanpilot project penempatan TKI untuk menguji keefektifan tata kelola yang baru.
Maruli menambahkan, saat ini Kemenaker masih terus berkoordinasi dengan Kementerian Luar Negeri dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) untuk menentukan jenis jabatan TKI yang akan ditempatkan, serta mematangkan sistem tata kelola online yang terintegrasi. Pihaknya pun enggan memerinci jadwal penempatan 30.000 TKI tersebut.
Yang jelas, dia menyebut penempatan TKI tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang besar dari ketiga negara Timur Tengah tersebut. Selain itu, juga untuk menghindari maraknya penempatan TKI secara illegal yang terjadi sejak pemberlakuan moratorium.