Bisnis.com, JAKARTA — Manfaat jaminan sosial bagi Pekerja Migran Indonesia (PMI) dinilai mendesak untuk ditingkatkan mengingat jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri terus naik setiap tahunnya.
Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNPTKI) menyebutkan jumlah PMI pada Januari—April 2018 mencapai 87.307 orang, melonjak dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 78.243 orang.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo mengatakan secara prinsip dia mendukung kehadiran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan sebagai bentuk kehadiran negara dalam memberikan perlindungan kepada PMI.
Apalagi, di masa lalu, terdapat sejumlah rapor merah tentang kinerja asuransi komersial yang sebelumnya mengelola sistem jaminan sosial PMI.
“Kajian KPPU dan OJK memperlihatkan asuransi komersial tidak sungguh-sungguh memberikan jaminan perlindungan untuk TKI, juga dari pengalaman advokasi Migrant Care,” ujarnya kepada Bisnis, Kamis (24/5/2018).
Sebelumnya, pengelolaan sistem jaminan sosial bagi PMI dilakukan oleh konsorsium asuransi yang terdiri dari Jasindo, Astindo, dan Mitra TKI sejak 2014. Namun, pengelolaannya dialihkan kepada BPJS TK sejak 2017, sesuai dengan amanat Permenaker No.7/2017 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia.
Dengan beleid tersebut, setiap PMI diwajibkan ikut serta dalam program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm). Sementara itu, program lainnya seperti Jaminan Hari Tua (JHT) bersifat opsional. Untuk kedua program tersebut, setiap PMI dikenakan iuran senilai Rp370.000/bulan.
“Harusnya [iuran tersebut] bisa lebih murah, bahkan kalau bisa ada skema penerima bantuan iuran dari keluarga buruh migran yang palig rentan, misalnya Pekerja Rumah Tangga [PRT] migran,” jelasnya.
Lebih lanjut, Wahyu menilai perlu adanya penyesuaian atau revisi Undang-Undag No.18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Revisi tersebut untuk mengakomodasi sejumlah risiko sosial yang belum terjamin oleh BPJS-TK.
Misalnya, risiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pemindahan tempat kerja tidak sesuai dengan perjanjian kerja, upah tidak dibayar, gagal berangkat, gagal ditempatkan bukan karena kesalahan PMI, pemulangan PMI bermasalah, serta risiko menghadapi masalah hukum.
Direktur Pelayanan BPJS Ketenagakerjaan Krishna Syarif menyatakan, pihaknya tengah mengusulkan revisi Permenaker No.7/2017 kepada Kementerian Ketenagakerjaan, guna memperluas manfaat dan jaminan sosial yang dapat diberikan kepada PMI.
“Kami sedang memperjuangkan manfaat yang lebih layak kepada warga kita pekerja migran, karena manfaat yang diterima pekerja migran di luar negeri belum banyak yang ditalangi. PHK bermasalah belum [dijamin], sakit berbulan-bulan belum [dijamin],” jelasnya.
Dia mengaku telah menerima permintaan dari PMI agar tidak ada kenaikan harga premi, sekaligus meningkatkan kualitas layanan yang lebih baik dari konsorsium asuransi sebelumnya.
Pasalnya, jumlah presmi senilai Rp370.000 untuk dua program jamsos dinilai cenderung lebih mahal dibandingkan premi asuransi sebelumnya sejumlah Rp400.000 untuk 13 risiko.
Jadi, dia berharap revisi beleid itu dapat segera rampung tahun ini. Bila beleid tesebut telah disempurnakan, dia optimistis para PMI bisa merasakan pelayanan yang lebih nyaman dari mulai masa persiapan, masa kerja, hingga kepulangan ke Tanah Air pada tahun ini.