Bisnis.com, JAKARTA— Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) meminta pemerintah untuk mengenakan PPh final secara opsional sekaligus meniadakan mekanisme pembatasan waktu penerapan skema tersebut bagi para pelaku Unit Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Ketua Umum Apindo Hariyadi B. Sukamdani menjelaskan, dalam rencana revisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 46/2013 tentang Pajak Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang akan diterbitkan dalam waktu dekat, pemerintah mewacanakan pengenaan tarif final bagi Wajib Pajak UKM yang omsetnya di bawah Rp4,8 miliar akan dibatasi. Nantinya WP UKM tidak bisa menggunakan tarif tersebut terus menerus, tetapi dibatasi dalam jangka waktu tertentu misalnya tiga tahun pertama.
“Sekarang kita minta tidak ada pembatasan waktu, dan tetap diberikan pilihan mau ambil pph final atau tarif biasa mengikuti pembukuan,” ujarnya usai pembukaan Musyawarah Nasional (Munas) Apindo, Senin (24/04).
Dia menilai, pengenaan tarif mengikuti pembukuan pada dasarnya lebih murah ketimbang pph final bagi UMKM yang akan diturunkan dari 1% menjadi 0,5%. Masalahnya, dia menyatakan tidak semuanya UKM bisa melakukan pembukuan. Alasan itulah yang membuat pihaknya meminta pemerintah untuk tetap membuka kedua opsi tersebut.
Menurutnya, pemerintah dan dunia usaha harus bergerak bersama. Pihaknya pun meminta pemerintah untuk selalu melibatkan dunia usaha dalam mengambil keputusan sehingga keputusan yang diambil turut memperhatikan kepentingan dunia usaha.
“Pemerintah dapat silih berganti dengan kebijakannya, tetapi pengusaha akan tetap eksis untuk mengamati bila ada kebijakan yang tidak kondusif, karena upaya memperbaikinya memerlukan waktu yang lama dan biaya yang besar,” ujarnya.
Ketenagakerjaan
Dia melanjutkan, penyelenggaraan Munas Apindo kali ini menitikberatkan pada reformasi Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai tantangan dari kondisi disrupsi ekonomi digital yang diikuti oleh digitalisasi industri 4.0. Kedua kondisi tersebut dinilai sangat berpengaruh kepada pola perekrutan lapangan kerja ke depannya.
Oleh karena itu, pihaknya menghimbau kepada pemerintah dan pelaku dunia usaha untuk mengantisipasi perubahan ini dengan menyiapkan SDM yang handal. Untuk itu, diperlukan pemetaan menganai kebutuhan tenaga kerja di industri dalam beberapa tahun mendatang.
Lebih lanjut, Hariyadi juga mendorong reformasi ketenagakerjaan melalui amandemen terhadap Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurutnya, diperlukan restrukturisasi sistem ketenagakerjaan di Indonesia secara menyeluruh. Dia mencontohkan, salah satu substansi yang dirasa perlu disesuaikan adalah mengenai sistem pesangon,
“Misalnya pesangon, jaminan sosial dan sebagainya, kita mengharapkan itu bisa kita resturktur sehingga output-nya akan menjadi lebih efisien baik bagi pemberi kerja dan pekerjanya sendiri. [SIstem pesangon] yang sekarang berat sebelah, lebih berat ke perusahaan,” ujarnya.
Pihaknya pun mengaku tengah mempersiapkan usulan perubahan substansi UU tersebut. Namun, dia memperkirakan proses amandemen baru dapat dilakukan setelah selesainya Pemilu Presiden pada tahun mendatang.
Dalam menyiapkan kompetensi tenaga kerja, ujarnya, Apindo bersama Kamar Dagang Indonesia (Kadin) dan Kementerian Ketenagakerjaan telah mendeklarasikan gerakan pemagangan dan pendidikan vokasi sejak 2016 dan 2017 lalu.
Dia menjelaskan, program tersebut telah diikuti oleh lebih dari 6.300 perusahaan, dengan peserta lebih dari 10.000 orang dari berbagai level mulai operator hingga manajer. Program tersebut pun diteruskan pada tahun ini., dan diharapkan dapat menjangkau lebih banyak perusahaan dan peserta program.