Bisnis.com, JAKARTA - Akses masyarakat terhadap layanan inklusi keuangan, baik Laku Pandai dan Layanan Keuangan Digital (LKD), tumbuh signifikan.
Survei yang dilakukan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia periode Oktober 2017 - Januari 2018 menunjukkan, tingkat inklusi layanan Laku Pandai mencapai 43% dan LKD mencapai 28%.
Penelitian dilakukan di 10 provinsi dan 22 kabupaten/kota, yakni Sumatera Utara, Riau, Bangka Belitung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara. Adapun jumlah responden sebanyak 1.038 responden, terdiri atas 233 pengguna LKD, 448 pengguna Laku Pandai, dan 357 yang bukan pengguna kedua layanan inklusi keuangan tersebut.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan, biaya akses yang lebih rendah dibandingkan dengan layanan keuangan bank dan non-bank menjadi alasan masyarakat mengakses Laku Pandai.
Kualitas layanan Laku Pandai juga dinilai lebih baik dibandingkan dengan layanan keuangan non-bank dan non-formal. Sedangkan LKD dinilai unggul dalam pelayanan dan keberhasilan transaksi dibandingkan dengan lembaga non-formal.
Peneliti Senior dari LPEM UI Chaikal Nuryakin menyampaikan, akses terhadap layanan inklusi keuangan Laku Pandai saat ini 43%, tumbuh signifikan dibandingkan dengan tahun lalu sekitar 10%-15%. Namun demikian, pertumbuhan kepemilikan rekening masih rendah, dimana Laku Pandai mendorong pertumbuhan kepemilikan rekening menjadi sekitar 25% dan LKD sekitar 5%.
Pertumbuhan kepemilikan rekening yang masih rendah karena agen Laku Pandai tidak menyediakan layanan pembukaan rekening karena terkendala sistem telekomunikasi. Selain itu, lokasi agen Laku Pandai tidak jauh dari Bank, sementara target agen Laku Pandai adalah menyasar remote area.
Temuan LPEM UI senada dengan penelitian yang dilakukan MicroSave pada tahun lalu. Hasil survei MicroSave terhadap 1.300 agen Laku Pandai menunjukkan hanya 28% agen yang menawarkan layanaan pembukaan rekening.
"Banyak dari pengguna menggunakan akses [Laku Pandai] hanya menggunakan jasanya saja, tetapi tidak memiliki rekening untuk bisa melakukan transaksi secara mandiri. Itu beberapa temuan yang relevan [dengan LPEM UI]," tutur Country Manager Indonesia MicroSave Grace Retnowati, Selasa (10/4/2018). MicroSave merupakan lembaga konsultan internasional bidang keuangan inklusif.
Chaikal menyebut, pertumbuhan kepemilikan rekening menjadi penting karena data Global Financial Inclusion Index 2014 yang dikeluarkan oleh Bank Dunia menggunakan kepemilikan rekening sebagai indikator inklusi keuangan, dimana persentase inklusi keuangan di Indonesia tercatat 36%. Sementara pemerintah meyakini target inklusi keuangan dapat mencapai 75% pada 2019.
"Dengan inklusi ke rekening yang lebih rendah dari inklusi akses, kami sedikit agak pesimis dengan target 75%. Namun, perlu didorong agar Laku Pandai dan LKD harus bisa mendorong inklusi kepemilikan rekening," katanya.
Guna mendorong pertumbuhan kepemilikan rekening, maka perlu dilakukan pemetaan lokasi. Daerah-daerah dengan jumlah kantor cabang bank, ATM, dan koperasi simpan pinjam dengan jumlah rekening yang masih rendah sangat potensial untuk menjadi lokasi sasaran agen Laku Pandai dan LKD.
"Sistem pembukaan rekening perlu disederhanakan. Bank mensupport sarana dan prasarana. Infrastruktur seperti telekomunikasi harus diperbaiki," imbuhnya.
Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan OJK Sondang Martha Samosir menyebut, berdasarkan survei nasional literasi dan inklusi keuangan 2016, indeks literasi keuangan terus meningkat dari 21,84% pada 2013 menjadi 29,66% pada 2016. Begitu pula indeks inklusi keuangan terus meningkat dari 59,74% pada 2013 menjadi 67,82% pada 2016.
"Perlu dukungan semua pihak untuk mendorong pemahaman masyarakat untuk mendorong target inklusi keuangan di 2019," katanya.