Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Desa Pesisir: Kebijakan Pemerintah Belum Memihak

Keberpihakan pemerintah membangun desa pesisir dinilai masih lemah dibandingkan dengan potensi ekonomi yang dapat digarap. Regulasi dan dukungan pendanaan dipandang belum memihak.
Nelayan menjala ikan di pesisir Laut Ulee Lheu, Banda Aceh, Aceh, Selasa (14/3)./Antara-Irwansyah Putra
Nelayan menjala ikan di pesisir Laut Ulee Lheu, Banda Aceh, Aceh, Selasa (14/3)./Antara-Irwansyah Putra

Bisnis.com, JAKARTA -- Keberpihakan pemerintah membangun desa pesisir dinilai masih lemah dibandingkan dengan potensi ekonomi yang dapat digarap. Regulasi dan dukungan pendanaan dipandang belum memihak.

Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia menyoroti problem klasik pembangunan desa pesisir, yakni perencanaan yang tidak terpadu serta konektivitas pembangunan antarsektor dan hubungan pusat-daerah yang lemah. Koordinator Nasional DFW-Indonesia M. Abdi Suhufan mengatakan pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap program pembangunan yang teralokasi di desa-desa pesisir yang berkategori daerah tertinggal dan pulau terluar.

Menurut dia, pemerintah harus melihat kembali efektivitas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 131 Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal. Regulasi yang berbasis kabupaten itu tumpang-tindih dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau Terluar yang berbasis pulau.

"Mesti dilihat apakah kedua regulasi tersebut dalam pelaksanaannya saling menguatkan, melemahkan, atau tidak ada koneksi sama sekali," ujar Abdi, baru-baru ini.

Berdasarkan studi DFW Indonesia, dari 11 kabupaten/kota di Maluku, 8 kabupaten tergolong daerah tertinggal. Salah satu kabupaten itu adalah Maluku Tenggara Barat dengan tingkat kemiskinan 28,1% dari 111.883 jiwa penduduk dan indeks pembangunan manusia yang hanya 61,1 atau berada di peringkat 10 dari 11 kabupaten yang ada.

Padahal, melihat potensi perikanan yang gemuk di Maluku bagian selatan yang meliputi Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku Tenggara Barat, Maluku Tenggara, Kota Tual, dan Kepulauan Aru, pemerintah mestinya menyusun grand design pembangunan berbasis perikanan terpadu dan terkoneksi antardaerah.

Abdi memberi contoh wilayah itu memiliki potensi produksi rumput laut yang luar biasa, tapi tidak memiliki unit pengolahan rumput laut yang seharusnya bisa memberi nilai tambah. Data produksi produksi rumput laut kering Maluku Tenggara Barat pada 2016 tercatat sebanyak 10.714 ton dengan nilai Rp96,4 miliar.

"Belum ada perbaikan signifikan dalam mengatasi ketertinggalan di Maluku. Ini karena implementasi program yang terfragmentasi berdasarkan sektor dan kapasitas pemerintah daerah dalam mendorong program pemberdayaan desa pesisir yang lemah," terangnya.

DFW mengusulkan agar pabrik rumput laut di Maluku Tenggara Barat yang dibangun oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi diaktivasi. Pabrik di Saumlaki itu dibangun pada 2010, tapi belum beroperasi hingga kini.

Padahal, keberadaan pabrik akan mampu mendorong peningkatan nilai tambah dan mendongkrak harga jual rumput laut di tingkat pembudi daya.

“Menteri Desa mesti bertanggung jawab untuk mengaktivasi pabrik rumput laut di Saumlaki yang mangkrak delapan tahun ini,” tegas Abdi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Sri Mas Sari
Editor : Annisa Margrit
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper