Bisnis.com, JAKARTA - Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan Sjarief Widjaja mengusulkan agar izin usaha pengolahan rajungan dibatasi untuk menjamin keberlanjutan stok komoditas itu di alam.
Dia berpendapat bisnis rajungan, terutama ekspor, yang stabil dari tahun ke tahun semestinya dijaga dengan mulai membatasi eksploitasi komoditas itu dari hulu hingga hilir sehingga stoknya berkelanjutan. Pasalnya, stok rajungan di alam terus terdegradasi, sedangkan di sisi lain penangkapan rajungan bertelur terus terjadi.
"Jumlah [rajungan] yang boleh ditangkap harus dikendalikan, industri pengolahan harus mulai dihitung," katanya, Selasa (27/2/2018).
Meskipun demikian, dia mendukung setiap usaha rajungan harus membentuk pabrik mini (miniplant) yang menampung aktivitas perebusan dan pengupasan. Rantai nilai perikanan rajungan sendiri melibatkan nelayan; pembina yang mengumpulkan rajungan dari nelayan dan merebus; miniplant; unit pengolahan yang mengupas, mengalengkan, pasteurisasi, mengemas, dan kontrol kualitas; serta pembeli.
Berdasarkan data Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia (APRI), jumlah miniplant di enam provinsi sentra produksi rajungan tercatat 311 unit atau naik 40% dalam tempo 5 tahun. Namun, APRI memperkirakan jumlah miniplant mencapai 550 unit jika digabungkan dengan yang tidak tercatat.
Untuk kepentingan pencatatan, Sjarief mempersilakan pelaku usaha merelokasi miniplant ke pelabuhan perikanan yang dikelola KKP. Di sepanjang pantai utara Jawa saja, tutur dia, ada 200 pelabuhan perikanan yang dapat dimanfaatkan. Dengan menempatkan miniplant di pelabuhan perikanan pula, mutu rajungan akan terkendali karena ditopang lokasi yang lebih higienis.
"Kami mohon setiap eksportir rajungan untuk membuat perusahaan pengepul, pengupas, yang menjaga mutu sekaligus berfungsi sebagai pencatat data. Karena aktivitas nelayan dan pengepul rajungan tidak lewat jaringan lain selain miniplant," katanya.