Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah harus mencari strategi untuk melindungi industri keramik dalam negeri dari produk impor.
Achmad Sigit Dwiwahjono, Dirjen Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian, mengatakan tingkat utilisasi industri keramik sebelum mengalami penurunan dari 90% menjadi 80% dan turun dari peringkat 4 menjadi 7 dunia karena harga gas dan serbuan impor, terutama dari China.
Serbuan impor ini diperkirakan karena adanya perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) China dengan Asean. Sigit menyatakan pemerintah tidak dapat mengubah perjanjian perdagangan bebas yang telah disetujui tersebut.
"Harus cari strategi lain, seperti pengenaan safeguard atau antidumping kalau impor sudah menganggu industri dalam negeri. Kalau tambahan tarif, bisa," ujar Sigit di Jakarta pada Rabu (21/2/2018).
Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia Elisa Sinaga sebelumnya mengatakan setiap tahun impor keramik naik sekitar 22%. Pada tahun ini, impor keramik dikhawatirkan akan naik menjadi 40% dengan penurunan bea masuk impor dari China dari 20% menjadi 5%.
Industri ini juga menghadapi kendala harga gas yang masih tinggi. Menurutnya, penerapan harga gas industri yang berlarut-larut berdampak tidak baik pada operasional pabrikan keramik.
Pada industri ini, biaya gas menyumbang 30% dari biaya produksi. “Kami telah menemui Pak Moeldoko [Kepala Staf Kepresidenan] dan menyampaikan harga gas yang menurut kami rasional. Semoga bisa direalisasikan secepatnya,” ujarnya.
Harga gas industri di Tanah Air dinilai oleh para pelaku industri belum kompetitif dibandingkan dengan negara lain, sehingga mempengaruhi daya saing produk domestik.