Bisnis.com, JAKARTA - Penerapan skema batas atas dan batas bawah untuk harga batu bara yang dijual ke pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dalam negeri dinilai cukup adil bagi semua pihak.
Pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, skema tersebut cocok untuk diterapkan. Pasalnya, adanya rentang harga sangat relevan dengan harga pasar yang berfluktuatif.
"Misalkan batas atasnya US$70 per ton atau US$65 dan batas bawahnya US$50 per ton. Kalau di atas itu, PLN tetap beli US$70 per ton atau US$60 per ton. Kalau di bawah US$50 per ton, PLN harus mau beli US$50 per ton," ujarnya, Rabu (21/2/2018).
Menurutnya, skema tersebut bisa membagi keuntungan antara produsen batu bara dan PLN sebagai konsumen. Adapun rentangnya bisa dikaji kembali.
Fahmy menambahkan harga khusus yang diusulkan Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), yakni US$85 per ton, terlalu tinggi. Dia menilai hal tersebut masih akan membebani PLN.
"US$85 per ton itu tinggi sekali. Seharusnya ada di bawah itu," katanya.
Direktur Eksekutif APBI Hendra Sinadia mengatakan pihaknya diminta pemerintah untuk mengusulkan satu angka terkait harga khusus tersebut. Setelah melalui diskusi yang sangat singkat dengan para anggota, muncul nilai US$85 per ton.
"Kami diminta menyiapkan satu angka untuk diusulkan. Memang ini tidak mudah dan waktunya sangat singkat untuk membahas secara internal," ujarnya kepada Bisnis.
Dia berharap angka itu akan dibahas lebih lanjut bersama pemerintah dan PLN. Menurutnya, sangat mungkin angka itu akan berubah setelah dibahas.