Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam memutuskan tidak melakukan revisi Peraturan Menteri ESDM No. 52/2017 tentang Gross Split.
Wakil menteri Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) Arcandra Tahar mengatakan, pihaknya sudah melakukan evaluasi beleid itu.
“Hasilnya, kami menilai tidak perlu ada yang harus direvisi lagi,” ujarnya, Jumat (26/1).
Sebelumnya, Kementerian ESDM berencana melakukan revisi Peraturan Menteri ESDM No. 52/2017. Revisi itu pun ditargetkan bisa dirampungkan pada pertengahan Januari 2018.
Revisi peraturan pemerintah itu seiring dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 53/2017 tentang Perlakuan Perpajakan Pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split.
Ketua Umum Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Tutuka Ariadji sempat menilai, insentif perpajakan yang diberikan kepada investor dalam skema pengelolaan blok migas dengan gross split sudah cukup baik. Hal itu membuat tidak perlu ada tambahan insentif lagi.
"Secara umum kan sudah mendukung iklim investasi, seperti pengurangan 100% PBB [Pajak bumi dan bangunan] saat eksplorasi, pembebasan bea masuk impor, dan sebagainya," ujarnya.
Presiden Petrochina Gong Bencai menilai, dengan gross split, pihaknya selaku kontraktor akan lebih fleksibel dan bisa lebih efisien dalam operasional.
“Lagipula, kami kan yang datang ke sini, jadi harus mematuhi semua aturan yang ada juga,” ujarnya.
PP nomor 53 terkait gross split memiliki tiga poin penting yang terkait perpajakan pada kegiatan usaha hulu migas.
Pertama, pasal 6 yang menyebutkan bahwa biaya operasi mencakup kegiatan eksplorasi, eksploitasi dan kategori lainnya yang telah dikeluarkan dapat diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Adapun biaya dalam kategori lainnya termasuk biaya perpindahan migas dari titik produksi ke titik serah, biaya kegiatan pascaoperasi dan biaya pemasaran.
Kemudian, biaya penggantian investasi kepada kontraktor sebelumnya bila masa kontrak berakhir dan biaya lain yang terkait dengan kegiatan operasi perminyakan seperti diatur dalam pasal 5.
Kedua, pasal 18 ayat 2 yang menyebutkan tentang tax loss carry forward atau penangguhan Pajak Penghasilan (PPh) selama 10 tahun. Penangguhan PPh ini terkait masa-masa awal eksplorasi sebelum adanya produksi migas.
Adapun, ketika penghasilan setelah pengurangan biaya operasi terdapat kerugai, hal itu akan mendapatkan kompensasi dari penghasilan tahun pajak berikutnya secara berturut-turut sampai 10 tahun. Penghasilan kena pajak bagi kontraktor dihitung berdasarkan penghasilan neto dikurangi dengan kompensasi kerugian.
Ketiga, pasal 25 hingga pasal 27 yang mengatur tentang insentif perpajakan. Pada Bab Insentif, di Pasal 25 disebutkan bahwa terdapat fasilitas fiskal yang bisa didapatkan kontraktor pada tahap eksplorasi dan eksploitasi sampai mulai produksi.
Fasilitas itu yakni, pembebasan pungutan bea masuk atas impor barang yang digunakan selama kegiatan operasi.