Bisnis.com, JAKARTA—Utilisasi pabrikan pengolah kawat baja di Indonesia turun ke level 40% hingga 50% karena persaingan yang sengit dengan produk impor.
“Dari yang biasanya dulu utilisasi 60%—70% sekarang hanya tinggal sekitar 40%. Apa yang kami buat sulit bersaing dengan impor produk jadi,” ujar Wakil Ketua Gabungan Industri Produk Kawat Baja Indonesia Sindu Prawira, kepada Bisnis.com, Minggu (19/11/2017).
Dalam setahun terakhir, pabrikan pengolah wire rod mulai menurunkan volume impor bahan baku. Menurutnya, pembelian bahan baku impor sampai kuartal ketiga tahun ini rata-rata hanya sebanyak 35.000 ton per bulan. Pada tahun lalu, volume impor wire rod rata-rata mendekati 60.000 ton per bulan. Dengan situasi seperti itu, pabrikan terdorong untuk menurunkan angka produksi.
Sindu berharap pemerintah dapat menjamin kemudahan impor bahan baku dan memperketat impor produk jadi. Salah satunya dapat dilakukan dengan menata ulang tarif impor baja dari hulu sampai hilir.
“Pemerintah perlu memperhatikan industri secara menyeluruh. Jangan hanya mengakomodasi satu tertentu saja tapi mengorbankan sektor lainnya,” ujarnya.
Pengolah wire rod menyarankan pemerintah mengharmonisasi tarif bea masuk yang bertingkat dari produk baja hulu sampai ke baja hilir.
Sindu menyatakan produk hilir pengolahan baja seperti mur, baut, paku, sekrup kebutuhan sektor konstruksi dan otomotif bebas tarif bea masuk. Akibatnya, pasar dalam negeri terbanjiri produk hilir impor.
“Memang ironis, karena kan paling tidak mestinya dipasang 20%—25% supaya kita bisa bersaing dengan impor,” ujarnya.
Sebaliknya, pabrikan sulit memperoleh bahan baku lantaran wire rod justru terkena bea masuk yang relatif tinggi, yaitu sebesar 15%. Padahal menurutnya, ketersediaan dan kualitas pasokan wire rod di dalam negeri pun sangat terbatas.
“Akibatnya, kalau mengimpor bahan baku mahal. Dan sebenarnya wire rod spesifikasi tertentu belum bisa diproduksi di dalam negeri, jadi mesti impor,” ujarnya.