Bisnis.com, JAKARTA— Kebijakan desentralisasi fiskal dengan peningkatan transfer ke daerah dan dana desa yang disertai penurunan belanja kementerian/lembaga telah membuka kesempatan bagi peningkatan peran daerah dalam infrastruktur.
Namun, terdapat beberapa tantangan, di antaranya penyerapan anggaran yang terkendala sehingga menghasilkan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) yang tinggi, serta masalah governance dalam pengadaan proyek yang berisiko untuk berakhir di meja penegak hukum.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menegaskan pemerintah daerah dapat mengimplementasikan skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
“Berbeda dengan pengadaan konvensional, KPBU dapat mengatasi permasalahan dengan cara meningkatkan kualitas dan kuantitas proyek dengan pelibatan badan usaha yang memungkinkan pembagian risiko proyek, penjaminan ketepatan waktu dan anggaran, serta penjaminan kualitas pelayanan yang dijanjikan dalam kontrak,” ujar Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam Dialog Perencanaan dan Pendanaan Pembangunan yang dilaksanakan di Gedung Pauh Janggi, Pekanbaru, Riau, Sabtu siang.
Dalam keterangan resmi yang dikutip Bisnis, Sabtu (4/11), Bambang menuturkan pengadaan konvensional berpotensi tidak berkesinambungan karena perencanaan, konstruksi, operasi, dan pemeliharaan dilakukan secara terpisah serta dilakukan tender tahunan untuk pengoperasian/pemeliharaan.
Pelaksanaan pekerjaan juga sering terlambat sehingga menjadi beban pemerintah (cost overrun). Perencanaan pengadaan seringkali tidak mengkaji aspek hukum, komersial, risiko, dan lingkungan.
Dalam praktiknya, pengadaan konvensional seratus persen berasal dari pemerintah sehingga risiko sepenuhnya ditanggung pemerintah. Alokasi proyek yang dilaksanakan melalui pengadaan konvensional pun pasti akan sesuai dengan nilai proyek yang dilaksanakan.
Sebab itu skema KPBU menjamin terjadinya kesinambungan proyek karena perencanaan, konstruksi, operasi dan pemeliharaan dilakukan satu kesatuan dalam kontrak jangka panjang. KPBU juga mengharuskan badan usaha untuk melakukan upaya terbaik sehingga tidak terjadi keterlambatan konstruksi dan operasi.
Menurutnya, selain membuat pemerintah dan swasta berbagi risiko, KPBU membuka potensi penyediaan infrastruktur dengan jumlah yang relatif lebih banyak, namun dengan alokasi yang relatif sama. Bagi daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi dan kemampuan implementasi tinggi, KPBU meningkatkan kualitas dan kuantitas proyek infrastruktur.
Untuk daerah yang memiliki kapasitas fiskal tinggi namun kemampuan implementasi rendah sehingga SILPA tinggi, KPBU memindahkan risiko konstruksi dan operasi kepada badan usaha sehingga on schedule, on budget.
Daerah dengan kapasitas fiskal rendah namun memiliki kemampuan implementasi tinggi sehingga proyek infrastruktur terlaksana namun dengan kuantitas terbatas, juga dapat merasakan manfaat KPBU melalui peningkatan jumlah proyek infrastruktur. Bagi daerah dengan kapasitas fiskal rendah dan kemampuan implementasi rendah sehingga proyek tidak berjalan, KPBU akan membantu merealisasikan proyek yang dibutuhkan.
“Dalam implementasi KPBU, pemerintah juga menyediakan skema Viability Gap Fund (VGF) melalui Kementerian Keuangan di mana proyek tertentu bisa diberikan VGF hingga maksimal 40% sehingga IRR (Internal Rate of Return) yang tadinya 13% dapat naik menjadi 14%,” tegasnya.
Adapun obyek KPBU meliputi 19 jenis infrastruktur ekonomi dan infrastruktur sosial yang terbagi atas tiga area besar.
Pertama, konektivitas, mencakup transportasi, jalan, ketenagalistrikan, migas dan energi baru terbarukan, konservasi energi, serta telekomunikasi dan informatika.
Kedua, fasilitas perkotaan, mencakup air minum, pengelolaan limbah setempat, pengelolaan limbah terpusat, pengelolaan sampah, perumahan rakyat, sumber daya alam dan irigasi, dan fasilitas perkotaan lainnya.
Ketiga, fasilitas sosial, mencakup pariwisata, fasilitas pendidikan, lembaga pemasyarakatan, sarana olahraga, kesenian, dan budaya, pengembangan kawasan, dan fasilitas kesehatan.