Bisnis.com, JAKARTA - CEO Tokopedia William Tanuwijaya menegaskan tak pernah punya masalah dengan pajak untuk pedagang elektronik. Perusahaan e-commerce yang dipimpinnya selama ini tidak pernah melewatkan keharusan membayar pajak yang berlaku di Indonesia.
"Sejak hari pertama Tokopedia tidak pernah meminta perlakuan pajak khusus. Kami membayar pajak sesuai aturanyan berlaku di Indonesia." katanya, Senin (1/11/2017) di Jakarta.
William menjelaskan pula bahwa setiap pedagang yang terdaftar di Tokopedia punya kewajiban untuk membayar pajak dan melaporkan pembayaran pajak mereka setiap tahunnya. Jadi, anggapan bahwa pajak untuk pedagang elektronik dibuat karena selama ini mereka tidak membayar pajak adalah pendapat yang keliru.
Mengenai aturan pajak baru untuk pedagang elektronik yang akan dikeluarkan pemerintah, William mengimbau pemerintah untuk berhati-hati dalam menerapkan aturan tersebut. Menurutnya, jika perumusan pajak baru ini tidak tepat dikhawatirkan malah akan membuat industri formal e-commerce seperti Tokopedia akan gulung tikar.
"Kalau pemberlakuan pajak baru ini akan membut sektor e-commerce yang formal ini akan mati. Karena yang paling banyak saat ini sebenarnya di Indonesia transaksi e-commerce itu yang non-formal seperti melalui media sosial. Saat mereka sebenarnya sudah dikenakan pajak, kemudian dikenakan pajak tambahan lagi saat berjualan di Tokopedia misalnya, mereka akan memilih untuk tidak berjualan melalui tokopedia, mereka akan kembali ke media sosial atau kembali ke bentuk toko fisik. Ini akan membunuh industrinya formal e-commerce," katanya.
Pemerintah juga menurutnya sudah seharusnya melibatkan para pelaku usaha dalam merumuskan beleid baru tersebut. "Tentunya dilibatkan asosiasi e-commerce Indonesia, karena masing-masing pasti punya bisnis model yang berbeda-beda yang punya pertimbangan tersendiri. Kami sebenarnya tidak pernah menolak soal pajak ini. Tapi kalau ada pajak baru seharusnya semua pelaku industri dilibatkan. Jadi hasilnya bisa fair untuk semuanya."
William tidak sepakat apa bila kehadiran e-commerce adalah penyebab semakin terjepitnya beberapa pelaku usaha yang mengandalkan toko offline. "Sebenarnya kontribusi online terhadap total ritel di Indonesia saat ini hanya sekitar 1,4%, Pertumbuhannya memang signifikan dari tahun ke tahun karena basisnya memang masih sangat kecil. Dengan kontribusi yang hanya 1,4% sebetulnya sulit dibilang kalau online adalah penyebab banyak bisnis offline tutup," jelasnya.
Menurutnya yang terjadi dalam pasar saat ini adalah pergeseran perilaku konsumen yang tidak hanya soal cara berbelanja yang berubah dari offline ke online. Tetapi juga soal perubahan perilaku masyarakat dalam membelanjakan uang mereka. Masyarakat lebih banyak menghabiskan uangnya untuk sesuatu yang menawarkan pengalaman kepada konsumen, tidak sekadar komoditas saja.
"Misalnya dulu orang suka pergi ke ITC, atau mall yang hanya hanya tempat berjualan barang-barang. Tetapi sekarang, orang-orang kan lebih suka untuk pergi ke mall yang menawarkan experience juga, misalnya yang ada cafe. Itu menurut saya penyebab banyak toko-toko atau gerai-gerai mulai sepi pengunjung."
Ke depan, dia menerawang tidak akan ada lagi perbedaan antara online dan offline atau persaingan di antara keduanya. Menurutnya kedua sektor ini justru akan saling mendukung dan memerlukan satu sama lain.
"Nanti justru tidak akan lagi penyebutan online commerce atau offline commerce yang ada hanya commerce saja. Keduanya akan ada di sana, offline akan bertahan karena bisa memberikan experience yang tidak bisa disentuh oleh online. Namun mereka juga tetap akan memanfaatkan keberadaan online juga. Keberadaan internet ini seperti dulu saat ada listrik lah, yang akan maju adalah yang berhasil menggunakan listrik secara efisien dan tepat," jelasnya.