Bisnis.com, BOJONEGORO - Proses negosiasi pengalihan hak kelola kontraktor dalam proyek Jambaran-Tiung Biru telah tuntas.
Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam mengatakan proses inti pengalihan hak kelola sudah selesai. Namun, saat ini masih dalam tahap administrasi.
Terkait angka yang dibayarkan perseroan untuk mendapat hak kelola 41,4% itu, pihaknya enggan menyebutkan. Pasalnya, mitranya merupakan perusahaan publik yang harus diikuti ketentuan keterbukaan informasinya.
Adapun, pengalihan hak kelola dilakukan dengan skema sole risk yakni mitra melepas hak dan kewajibannya atas proyek tersebut meskipun proyek merupakan lapangan unitisasi dari dua wilayah kerja berbeda.
Dengan demikian, PEPC kini menanggung sendiri risiko pengembangan lapangan itu melalui pembayaran sejumlah nilai yang disepakati untuk mengganti investasi yang telah dikeluarkan mitra.
"Kalau angka, nantilah. Pasti akan kita expose," ujarnya di Bojonegoro, Senin (25/9/2017).
Menurut Syamsu, risiko yang ditanggung PEPC nantinya berupa risiko operasional bagaimana bisa menyelesaikan proyek sesuai target. Pasalnya, dari sisi penyerap gas sudah diselesaikan karena semua gas diserap Direktorat Gas Pertamina yang kemudian dijual kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
"Risiko operasional kan kalau dulu ada risiko dibagi, sekarang enggak. Ujian buat kita semua. Project ini kan dari segi hulu cukup besar, yang kita punya," jelasnya.
Vice President Public&Government Affairs ExxonMobil Cepu Limited Erwin Maryoto mengatakan poin-poin penting dalam negosiasi telah tercapai. Saat ini, katanya, masuk tahap final untuk proses administrasinya.
"Semua yang penting penting sudah selesai semua hanya bahasa hukumnya yang sedang difinalisasi," katanya.
Proyek yang ditemukan cadangannya pada 15 tahun lalu itu sebelumnya ditarget menghasilkan gas pertama pada 2019. Namun, target mundur salah satunya karena faktor ketidakpastian pembeli gas.
Calon pembeli gas saat itu yakni PT Pupuk Kujang Cikampek mengeluhkan harga jual gas yang terlalu tinggi yakni US$8 per MMBtu dengan eskalasi 2%. Sehingga, perjanjian jual beli gas (PJBG) urung diteken.
Harga jual tersebut untuk mengompensasi biaya investasi karena gas yang dihasilkan lapangan tersebut mengandung karbondioksida (CO2) dan hidrogen sulfida (H2S) sehingga membutuhkan teknologi pemisah untuk menghasilkan gas siap jual.
Sayangnya, membutuhkan waktu untuk negosiasi harga gas yang juga akan menentukan investasi dan keekonomian proyek. Daripada langsung memberikan tambahan bagi hasil kepada kontraktor, pemerintah justru mengeluarkan surat penugasan kepada PT Pertamina agar menambah hak kelola dengan menguasai bagian milik mitra.
Proyek tersebut merupakan unitisasi dua lapangan dari dua wilayah kerja berbeda. Lapangan Jambaran merupakan bagian dari wilayah kerja Cepu dan Lapangan Tiung Biru yang menjadi bagian dari wilayah kerja Pertamina EP.
Pada Blok Cepu, ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) menjadi operator dan menguasai saham partisipasi sebesar 20,5%, Ampolex 24,5%, Pertamina EP Cepu (PEPC) 45% dan beberapa Badan Usaha Milik Daerah dengan saham partisipasi 10%.
Sementara, dalam proyek itu, PEPC menjadi operator dan bersama EMCL masing-masing memiliki porsi 41,4%. Badan usaha milik daerah (BUMD) memiliki 9,2% dan sisanya sebanyak 8% dikuasai Pertamina EP. Namun, saat ini masih berproses pengalihan porsi EMCL kepada PEPC.