Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pabrikan Baja Lapis Tuntut Keseragaman Bea Masuk

Produsen baja lapis domestik menginginkan penyesuaian tarif bea masuk terhadap produk baja hilir karena pemerintah mengenakan tarif ke produk baja hulu sebesar 15%. Sementara itu, impor produk baja hilir terbebas pengenaan bea masuk.
Industri baja/Bisnis.com
Industri baja/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA—Produsen baja lapis domestik menginginkan penyesuaian tarif bea masuk terhadap produk baja hilir karena pemerintah mengenakan tarif ke produk baja hulu sebesar 15%. Sementara itu, impor produk baja hilir terbebas pengenaan bea masuk.

“Intinya kami ingin ada aturan yang fair buat semua. Kalau hanya hulu yang diprotect, maka yang di tengah dan hilir itu semakin banyak yang merugi,” ujar Vice President Major Projects PT NS Bluescope Indonesia Iwan S. Gandamulya di Jakarta, Selasa (29/8).

Pemerintah perlu menerapkan tarif yang mendorong masuknya investasi pada sektor midstream dan hilir manufaktur baja. Pemerintah dapat mengorbankan industri hilir bila hanya mengenakan bea masuk pada produk hulu.

“Kalau terus dipertahankan seperti itu, lama-lama produsen baja midstream dan hilir nantinya beralih jadi trader dan tidak mau lagi berinvestasi,” ujarnya.

Penetapan bea masuk yang hanya ditujukan kepada produk hulu mempersulit pabrikan memperoleh bahan baku. Sebaliknya, pasar lokal semakin banyak terisi dengan produk hilir impor.

Iwan menyatakan seyogianya pemerintah mengharmonisasi tarif bea masuk seluruh jenis produk baja. “Import duty dari hulu sampai ke hilir mestinya dipukul rata. Dengan demikian, penyerapan hasil produksi lokal bisa lebih optimal,” ujarnya.

Menurutnya, struktur biaya pabrikan baja midstream dan hilir terbentuk dari biaya bahan baku. Komposisi biaya dari pembelian bahan baku mencapai 80% dari total biaya produksi. “Apa yang tergambar pada harga bahan baku, yaitu cold rolled coil, nantinya tergambar pada harga akhir produk baja lapis,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (The Indonesian Iron and Steel Association/IISIA) Hidayat Triseputro juga menginginkan pemerintah untuk menyelaraskan tarif bea masuk pada seluruh jenis komoditas baja impor.

“Proteksi terkesan masih hanya ditetapkan pada produk-produk hulu, sedangkan pada produk hilir sama sekali tidak ada perlindungan,” ujarnya.

Menurutnya, produksi lokal sulit terserap karena produk hilir impor membanjiri pasar domestik. “Law enforcement terhadap produksi lokal maupun untuk baja impor masih perlu ditingkatkan. Apakah itu dengan menerapkan SNI dan sebagainya,” ujarnya.

Hidayat menyatakan pengetatan pengawasan produk baja impor merupakan salah satu hal yang mesti dibenahi. Terutama untuk mencegah praktek  pengalihan kode HS kepabeanan.

Menurutnya, pabrikan baja lokal bukan anti terhadap produk impor sebab kapasitas terpasang pabrikan lokal memang belum mampu memenuhi seluruh permintaan nasional. Hanya saja, produsen baja selalu meminta perlindungan pemerintah dari berbagai kemungkinan unfair trade.

“Masih banyak diperlukan perbaikan regulasi. Seperti misalnya impurities untuk bahan baku daur ulang besi tua, bahan baku utama peleburan baja dan sebagainya. Aturan itu belum begitu jelas,” ujarnya.

Minimnya pengawasan juga dibayangi dengan tingginya ongkos logistik. Akibatnya, baja produksi lokal menjadi kurang kompetitif.  Hidayat mengumpamakan distribusi baja dari Vietnam ke Makassar jauh lebih efisien ketimbang membawa dari Jawa ke Makassar. ”Hal itu yang juga menjadi pemicu mengapa banyak yang memilih pembelian dari negara lain seperti Vietnam dan China,” ujarnya.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik mencatat volume impor besi dan baja pada Juli 2017 mencapai 0,93 juta ton. Nilai impor pada periode tersebut mencapai US$636,6 juta. Volume impor besi dan baja tersebut naik 26% bila dibandingkan Juni  2017 sebanyak 0,73 juta ton dengan nilai mencapai US$449,5 juta.

Impor besi dan baja pada Januari—Juli 2017 mencapai 7,09 juta ton dengan nilai US$4,16 miliar. Volume impor itu turun 5% bila dibandingkan dengan periode Januari—Juli 2016 sebanyak 7,48 juta ton dengan nilai US$3,35 miliar.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper