Bisnis.com, JAKARTA--Harga gas dari proyek pengembangan lapangan gas Jambaran-Tiung Biru telah disepakati yakni US$7,6 per juta British thermal unit (MMBtu) bagi PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan masalah pembeli dan pengembangan lapangan gas tersebut telah diselesaikan. Kemarin, tutur Jonan, pihaknya telah mengundang pihak terkait yakni PLN, Pertamina dan ExxonMobil untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Hasilnya, tutur Jonan, PLN bisa membeli gas dari lapangan yang ditargetkan memulai produksi pertamanya di 2020 itu US$7,6 per MMBtu tanpa eskalasi sudah termasuk biaya penghantaran gas melalui pipa. Harga tersebut, lebih rendah dari harga gas di tingkat hulu yang telah tertulis dalam rencana pengembangan lapangan (plan of development/PoD) yakni US$8 per MMBtu dengan eskalasi 2% per tahun sejak 2012.
"Sudah selesai sih. Jadi PLN akan beli gas dari situ, di plant gate-nya PLN itu US$7,6 flat," ujarnya dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (1/8).
Seperti diketahui, Pemerintah menugaskan PT Pertamina (Persero) melalui PT Pertamina EP Cepu dengan terbitnya Surat Menteri ESDM No 9/13/MEM.M/2017 pada 3 Januari 2017 untuk mengembangkan Lapangan Jambaran-Tiung Biru dan menyelesaikan pembahasan dengan ExxonMobil melalui skema bisnis (business to business/b to b).
Adapun, proyek tersebut merupakan unitisasi dua lapangan dari dua wilayah kerja berbeda. Lapangan Jambaran merupakan bagian dari wilayah kerja Cepu dan Lapangan Tiung Biru yang menjadi bagian dari wilayah kerja Pertamina EP.
Pada Blok Cepu, ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) menjadi operator dan menguasai saham partisipasi sebesar 20,5%, Ampolex 24,5%, Pertamina EP Cepu 45% dan beberapa Badan Usaha Milik Daerah dengan saham partisipasi 10%.
Sementara, dalam proyek itu, PT Pertamina EP Cepu menjadi operator dan bersama EMCL masing-masing memiliki 41,4% hak kelola. Badan usaha milik daerah (BUMD) memiliki 9,2% dan sisanya sebanyak 8% dikuasai Pertamina EP.
Berdasarkan head of agreement (HoA) yang diteken pada 2015, PT Pertamina (persero) menjadi pembeli utama gas dengan volume 100 juta kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/MMscfd) dan PT Pupuk Kujang Cikampek sebagai pembeli alternatif yang menyerap 85 MMscfd.
Pada perjanjian tersebut, terdapat klausul yang menyebut PT Pertamina (persero) akan menjadi pembeli altenatif bila PT Pupuk Kujang Cikampek tak bersepakat soal harga yang ditetapkan. Pupuk Kujang Cikampek pun akhirnya tak jadi menyerap gas tersebut karena kemampuannya sebesar US$7 per MMBtu.
Opsi terakhir penyerap gas Jambaran-Tiung Biru yakni PT Pertamina (Persero) yang akan menjual gasnya kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) yang juga menawar lebih rendah dari harga yang ditawarkan untuk membuat pengembangan lapangan gas sesuai skala ekonomi.
Tingginya harga gas dari lapangan tersebut karena untuk mengolah gas yang dihasilkan memerlukan fasilitas pemisah gas karbondioksida (CO2) dan hidrogen sulfida (H2S) yang menyebabkan harga jual tinggi.
Sebelumnya, Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam mengatakan kesepakatan harga dengan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) terkait pasokan gas dari Jambaran-Tiung Biru telah dicapai. Kendati demikian, pihaknya enggan menyebut berapa harga juga gas yang disepakati Pertamina dan PLN dalam rapat yang digelar di Kementerian ESDM itu. Pastinya, ujar Syamsu, harga yang disepakati masih sesuai dengan keekonomian pengembangan lapangan. Dia pun menyebut perjanjian jual beli gas (PJBG) segera diteken antara Pertamina dan PLN.
Tahapan selanjutnya, tutur Syamsu, penyelesaian negosiasi dari hasil valuasi harga pengalihan saham partisipasi EMCL di proyek itu. Saat ini, katanya, negosiasi masih berjalan.
"Angkanya belum ketemu. Exxon nawar berapa, kita bisanya berapa," katanya.