Bisnis.com, PALEMBANG – Kalangan akademisi mendorong pembukaan program studi khusus perkelapasawitan di perguruan tinggi guna mencetak sarjana andal di bidang kelapa sawit.
“Ke depan bisnis kelapa sawit makin rumit. Jangan sampai sumber daya manusia di desa-desa tidak mengerti apa-apa,” kata Guru Besar Agribisnis Universitas Sriwijaya (Unsri) Fachrurrozie Syarkowi di Palembang, Selasa (18/7/2017).
Fachrurrozie meyakini usaha kelapa sawit di Sumatra Selatan masih cerah, tidak seperti komoditas mineral yang akan habis. Namun, dia mengakui selain faktor SDM, kelapa sawit menghadapi sejumlah tantangan baik dari dalam maupun luar negeri.
Di tingkat global, Fachrurrozie, mengatakan kelapa sawit diserang sebagai pemicu kebakaran hutan hingga penyakit kanker. Sementara di dalam negeri, industri hulunya menghadapi kendala pengaturan tata ruang dan sosial yang tak habis-habis.
“Untuk menang, kita harus bisa menguasai medan perang baik di dalam maupun di luar negeri,” tutur Rektor Universitas Musi Rawas (Unmura) ini.
Pelaksana Tugas Sekretaris Daerah Sumsel Joko Imam Sentosa juga merisaukan berbagai tudingan negatif terhadap industri kelapa sawit di daerahnya. Salah satu tuduhan itu menyebutkan bahwa lahan perkebunan kelapa sawit berasal dari pembukaan hutan primer.
“Kampanye negatif didengungkan oleh LSM asing dan lokal. Padahal Pemprov Sumsel berkomitmen tinggi untuk kelapa sawit berkelanjutan dan ini diakui oleh internasional,” ujarnya di tempat yang sama.
Sumsel, tambah Joko, masih ingin mengembangkan usaha kelapa sawit baik di hulu maupun hilir. Saat ini, Bumi Sriwijaya merupakan produsen minyak kelapa sawit (CPO) nomor tiga di Sumatra dengan produksi 3,4 juta ton CPO per tahun.
Sementara itu, Duta Besar Fungsional Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Sunu M. Soemarmo mengatakan instansinya siap menangkis segala kampanye negatif terhadap kelapa sawit di luar negeri. Sikap ini didasarkan pada fakta bahwa komoditas itu berperan besar bagi perekonomian negara.
Sunu menyebutkan pada 2016 Indonesia memproduksi 32 juta ton CPO dengan alokasi ekspor 28 juta ton senilai US$18 miliar. Pada 2020, produksi CPO nasional diharapkan mencapai 40 juta ton sehingga membutuhkan pasar yang luas.
“Tak terelakkan bagi pemerintah untuk wajib menjaga industri kelapa sawit,” kata mantan Dubes Indonesia untuk Kenya ini.